brownieszt

Sinar matahari sudah naik bahkan sinarnya sudah memaksa masuk kedalam kamar gelap ini. Harenza merasa matanya silau akibat sinar matahari yang menyinari kamarnya.

Harenza mengucak matanya. Ia buka perlahan matanya yang sangat berat, pandangan matanya langsung menangkap pria yang masih nyaman dengan mata tertutup, tangannya yang terus memeluknya sepanjang waktu. Harenza tersenyum saat melihat Meldrick yang masih terlelap, entah Suaminya itu sedang mimpi apa karena terlihat Suaminya sangat nyaman dengan tidurnya.

Harenza mengecup bibir Meldrick sekilas, lalu tangan besar Meldrick yang bertengger dipinggangnya dengan perlahan Harenza turunkan, ia tidak ingin langsung membangunkan Meldrick, dikarenakan hari ini adalah weekend dan Meldrick tidak ngantor.

Harenza meraih benda pipihnya yang berada diatas nakas, ia mencabut chasannya karena—Harenza adalah tipikal orang yang ngechas handphonenya setiap sebelum tidur, katanya biar pagi bisa penuh baterainya.

Harenza melihat jam pada handphone, ternyata masih jam tujuh pagi.

Untuk mengumpulkan nyawanya, Harenza duduk diranjangnya— tidak melakukan apapun, hanya diam, entah memikirkan apa. Mungkin memikirkan hari ini akan ada apa atau cara mengubah hari ini menjadi hari bahagia.

Harenza sudah selesai dengan perang batinnya, ia berdiri untuk menuju kamar mandi yang ada didalam kamarnya. Kamarnya cukup luas— bahkan didalam kamarnya ada kamar mandi dan kantor kecil Meldrick.

Harenza masuk kedalam kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi— mandi? Nanti.

Harenza keluar kamar mandi, ia menyalakan lampu kamarnya dan mematikan lampu tidurnya.

Ia biarkan Suaminya yang masih terlelap.

Harenza berjalan keluar kamar menuju kamar Anaknya— untuk mengecek Anaknya sudah bangun atau belum. Ia buka kamar itu dengan pelan, dan melihat bahwa sang buah hati masih terlelap.

Ia mendekati Calio— Anak kecil berusia satu tahun jalan dua tahun. Ia mengecup kening Anaknya dan membiarkan Calio untuk menyelesaikan mimpinya. Tak lupa ia menyalakan lampu kamar Calio yang juga dimatikan sebelumnya dan ia mematikan lampu tidur.

Harenza turun menuju dapur kotor— sebelumnya ia menyalakan semua lampunya yang mati.

Harenza melihat isi kulkas, netranya mengedar mencari bahan makanan didalam kulkas untuk ia masak pagi ini. Tetapi nihil, hanya ada buah dan susu tidak ada sayuran yang tersisa dan itupun hanya tomat dan selada.

Harenza menghela napasnya, ia lupa untuk belanja bulanan.

Ia melihat ada roti diatas meja besar.

Harenza mengangguk-ngangguk, “Sandwich.” Dengan cepat Harenza mengeluarkan tomat dan selada yang berada didalam kulkas.

Harenza mengolah roti yang tersisa itu menjadi sandwich yang sangat nikmat yang bisa menjadi santapannya, Suaminya dan Anaknya pagi ini.

Harenza menghidangkan lima potong sandwich diatas meja makan. Tidak lupa ia juga membuat susu untuknya, Suaminya dan Anaknya. Susu mereka jelas berbeda— susu untuk Harenza adalah susu untuk janinnya sedangkan susu untuk Meldrick adalah susu untuk memperkuat tulang. Sedangkan Calio pun berbeda— susu Calio adalah susu balita.

Semuanya sudah berada dimeja makan. Harenza membuka handphonenya untuk melihat jam, masih jam setengah delapan, berarti Harenza hanya memerlukan waktu setengah jam untuk mempersiapkan hidangan diatas meja.

Ini waktunya Harenza untuk membangunkan Suaminya dan Anaknya. Ia kembali menaiki tangga rumahnya dengan pelan karena terhalang oleh perutnya yang kian membesar dan ia menjadi susah untuk bergerak lebih.

Harenza memasuki kamarnya terlebih dahulu untuk membangunkan Meldrick. Ia melihat Meldrick yang masih terlelap. Harenza mendekati Meldrick, lalu ia mengelus rambut Suaminya dengan lembut untuk membangunkannya.

“Mel, ayo bangun.”

Tapi Meldrick tidak kunjung bangun juga, Harenza sebel karena Meldrick susah sekali dibangunkan. Dengan kejahilannya Harenza mencubit hidung Meldrick sehingga Meldrick tidak dapat bernapas. Dengan cepat Meldrick langsung terbangun, kalau kayak gini baru berhasil.

Harenza tertawa terbahak-bahak melihat wajah kaget Meldrick, sungguh sangat lucu.

“Nyebelin banget ya!”

Tubuh keduanya bertaut dengan pelukan hangat, keduanya menyalurkan rindu yang membuncah.

Marcell mengelus pipi Haekhal dengan lembut, tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata cantik milik Haekhal.

“Tolong jangan tinggali saya lagi, Haekhal, saya sayang sekali sama kamu. Ayo berbahagia bersama-sama.”

Haekhal tersenyum, walau hatinya sangat sakit saat mendengar permohonan Marcell, ia baru pertama kali melihat Marcell serapuh ini.

“Jangan takut lagi ya, Abang, aku disini buat kamu, aku hidup juga buat kamu, jangan takut, Bang, aku juga sayang banget sama kamu.”

Marcell tersenyum saat mendengar kalimat yang keluar dari bibir cantik milik kekasihnya. Hati Marcell sedikit lega karena mendengar kalimat itu, ketakutan Marcell perlahan hilang saat tangannya bertaut dengan tangan Haekhal.

Marcell mengecup bibir Haekhal dengan lembut.

Marcell perlahan mengambil tangan cantik Haekhal lalu ia kembali tersenyum saat cincin cantik masih terpasang dijari manis Haekhal. Marcell mengecup berkali-kali tangan Haekhal.

“Cincin ini tolong jangan dilepas ya, Sayang.”

“Iya, Bang.”

b

Hari ini dengan angin malam yang sejuk, Marcell biarkan air matanya mengalir dengan deras, ia biarkan sesak terus menyerang dadanya, ia biarkan kepalanya yang pening.

Hari ini adalah hari kehancuran Marcell, hari patah hati Marcell, mungkin juga hari terburuk Marcell.

Orang-orang selalu melihat Marcell adalah manusia yang sangat kuat, karena jarang sekali bahkan tidak pernah ada yang melihat Marcell menangis sekalipun. Padahal Marcell juga hanya manusia biasa, ada waktu bahkan sering Marcell meringkuk dengan air mata yang mengalir.

Hari ini Marcell kembali meringkuk dengan air mata yang terus mengalir deras, ia memeluk gulingnya dengan sangat erat untuk menahan isakannya.

“Kenapa... Untuk... Bahagia... Sangat sulit ya...”

Dunianya Marcell sedang hancur hari ini dan mungkin akan seterusnya, karena Haekhal tidak akan pernah disisinya lagi nanti.

Marcell memukuli dadanya karena dadanya sangat sesak.

Tangan gemetarnya meraih ponsel yang tidak jauh darinya, ia mencoba untuk menghubungi Haekhal lewat telepon tetapi tidak diangkat oleh Haekhal.

Pintu kamar Marcell terbuka. Seorang wanita paruhbaya yang sudah berusia itu menatap sedih anaknya yang sedang patah hati. Ibu baru pertama kali melihat Marcell sangat hancur, terakhir saat Ayahnya meninggal, setelah itu yang Ibu lihat adalah Marcell adalah sosok yang amat kuat hatinya. Tapi hari ini Ibu kembali melihat anaknya yang seperti putus asa, menangis dengan napas yang sepertinya sangat susah.

Ibu mendekati Marcell, Ibu mengusap punggung Marcell yang bergetar hebat.

“Mas... Hey, kenapa, Nak? Kenapa Sayang? Hey, jawab Ibu, kamu kenapa?” Ibu menepuk berkali kali bahu bergetar Marcell.

Ibu terduduk diranjang dengan Marcell didalam pelukannya. Marcell sudah cukup tenang saat dipeluk oleh wanita cantiknya.

“Ibu... Kenapa untuk bahagia saja susah sih? Mas sudah banyak mempersiapkan itu, tapi hari ini Mas harus merelakannya,”

“Mas kira dengan mempersiapkan banyak hal, Mas akan gampang meraihnya ternyata tetap saja sulit ya, Bu.”

“Mas harus percaya pasti akan ada hal indah didepan yang menanti Mas, mungkin emang ini jalannya, Mas harus terima dengan lapang dada.”

Air mata Marcell kembali menetes saat otaknya kembali memutar kenangan indah bersama Haekhal, saat keduanya tertawa bebas, saat keduanya berciuman ditemani dengan langit malam, saat keduanya berpelukan untuk mengobati luka, saat keduanya sedang bersama dengan tangan yang bertaut.

Harenza suasana hatinya sudah mulai membaik. Dengan perlahan ia turun dari ranjangnya dan membuka pintu kamarnya. Rumahnya yang sangat gelap dan sepi, dikarenakan sejak sore ia belum keluar kamar dan menyalakan lampu. Harenza perlahan turun.

Ia sudah sampai didepan pintu rumahnya yang besar, sebelum membuka pintu itu, ia membuka gorden jendelanya dan melihat Suaminya yang sedang duduk dikursi depan rumahnya.

Harenza mengusap air matanya yang masih saja mengalir, ia membuka kunci itu dengan perlahan. Ia dekati Suaminya, yang ternyata sudah memejamkan matanya. Harenza kembali meneteskan air matanya dikarenakan melihat kondisi Suaminya.

Ia menepuk bahu Suaminya pelan. Dan membuat sang pemilik bahu itu mendongak dan menatapnya, Meldrick mengucak matanya pelan untuk menghilangkan kantuknya, ia tersenyum menatap Harenza.

“Udah baikan hatinya?” Harenza tidak menjawab. Harenza tinggal masuk Suaminya itu sendiri. Meldrick yang melihat tingkah Suaminya hanya menghela napasnya kasar lalu mengusak rambutnya dengan kasar, ia sangat frustasi.

Meldrick perlahan berdiri dan memasuki rumahnya yang berdiri megah. Tak lupa ditangan kanannya ada tas kantornya dan ditangan kirinya ada jas nya yang sudah ia lepaskan sejak sampai rumah.

Meldrick melihat Harenza yang sedang duduk diam disofa ruang tengah. Ia mendekati Suaminya, lalu duduk persis disebelah Suaminya.

“Maaf, ya. Maaf banget, gue minta maaf banget karena udah ingkarin janji gue—”

“Capek?” Harenza menyelak perkataan Meldrick. Yang ditanya pun menengok, menatap mata cantik Harenza, keduanya saling menatap.

“Gue tanya, Mel, capek gak?”

“Capek apa?”

“Capek kerja lah, lo capek kan? Yaudah istirahat aja.”

Meldrick hanya menggeleng pelan.

“Gausah geleng-geleng, gue tau, Mel, muka lo capek banget.”

Harenza tidak menunggu jawaban Meldrick. Ia merebahkan dirinya disofa panjang itu, lalu memencet tombol dibawah sana, sehingga sofa itu menjadi besar dan dapat ditidurkan oleh dua orang lebih.

“Sini ih.” Harenza menepuk-nepuk tempat disebelahnya menyuruh Suaminya itu untuk tidur disebelahnya.

Meldrick pun menuruti perkataan Suaminya, ia tiduran disebelah Harenza dan memeluknya dengan sangat erat.

“Gue bener-bener ada kerjaan mendadak tadi sore, Za, pas gue bilang mau pulang eh gue malah dipelototin sama Daddy. Maaf, ya, jangan nangis lagi, gue gasuka liat lo nangis kayak gini, gue gasuka.” Meldrick mengusap air mata Harenza yang entah mengapa kembali mengalir.

“Gue gabisa ngertiin lo, Mel, seharusnya gue bisa ngertiin lo, kan bisa waktu lain. Tapi gue malah gini, seakan-akan nuntut lo buat nurutin dan nepatin semua janji lo. Maaf, Mel, seharusnya gue yang minta maaf.”

Meldrick tersenyum mendengarnya lalu ia menggelengkan kepalanya dan mengecup pipi gembul dan basah milik Suaminya. Meldrick mengusap pipi Harenza dengan lembut, ia mainkan pipi itu.

“Lo lagi hamil, Za, gue ngerti banget, lo lagi sensitif-sensitifnya. Gausah minta maaf gitu, gue yang salah gabisa nepatin janji gue. Jangan nangis lagi, tuh liat mata cantiknya udah mulai sembab gitu.”

Meldrick mengusap mata Harenza dengan pelan, membuat Harenza memejamkan matanya.

“Besok aja kita nonton, ya.”

Harenza menggeleng, ia menatap mata Suaminya.

“Trus maunya gimana?”

“Mau lo dirumah aja.”

“Yaudah besok gue seharian dirumah temenin lo, gitu?”

Harenza mengangguk lemah, ia menarik pinggang Meldrick untuk mengeratkan pelukannya.

“Tapi besoknya gue mau nonton.”

Meldrick tersenyum lalu mengecup bibir Harenza berkali-kali.

“Iya, boleh banget.”

— fin.

Written by brownieszt.

Keduanya sama-sama terdiam dengan fokus pada televisi yang menyala. Televisi itu tiba-tiba dimatikan oleh Harenza.

“Sekarang lo udah suka sama cewe, Mel?” Pertanyaan tertohok untuk suaminya. Meldrick hanya terdiam, ia menarik nafasnya kasar, lalu menatap manusia yang duduk disebelahnya sedang menatap kedepan.

“Engga, maksud gue ya gapapa kalau lo udah suka sama wanita, bagus dong, berarti ya gue harus pergi.” Harenza tidak sekalipun menengok untuk menatap wajah suaminya, jika ia menatap wajah suaminya ia akan menangis dan tidak tega berbicara seperti itu.

“Kalau anak mah gampang, Mel, kita masih tetap orang tua untuk Calio dan kembar. Tapi lo jangan berani-berani nunjukin hubungan lo sama orang lain ke anak-anak. Cukup gue aja yang tau.” Harenza menunduk menatap perutnya yang membuncit lalu tangannya mengelus perut itu.

Tangan Meldrick meraih tangan Harenza, tetapi tangannya langsung ditepis oleh Harenza.

“Za, dengerin gue, gue sama sekali gak berani yang namanya selingkuh, gue dikantor ketemu sama banyak orang gak peduli itu wanita atau pria dan itu hanya sebatas partner kerja, udah sebatas itu doang. Kalau gue pergi sama wanita, berarti dia adalah partner gue. Gak mungkin, Za, itu hal yang sangat tidak mungkin kalau gue selingkuh.” Meldrick kembali meraih tangan Harenza, ia mengecup tangan Harenza berkali-kali agar suami manisnya ini dapat luluh.

“Gue sayang banget sama lo, sayang banget, sesayang itu gue ke lo sampai-sampai gue gabisa berpaling dari lo, Harenza. Maaf ya tadi gue lagi stress banget sama kerjaan sampai ketikan gue gajelas banget.”

“Mel, jangan khianatin gue.”

“Engga, Sayang, gak mungkin.”

“Gue udah gak menarik lagi ya, Mel?”

“Sini-sini.” Meldrick menepuk-nepuk pahanya agar Harenza dapat terduduk dipangkuannya. Harenza berpindah, ia duduk dipangkuan Meldrick. Meldrick mengusap punggung Harenza dengan lembut, ia tatap mata cantik Harenza lekat-lekat.

“Siapa sih yang bilang lo gak menarik lagi? Menurut gue lo gapernah berubah, Za, lo tetap menjadi Harenza Fiero yang pernah gue kenal. Harenza Fiero yang punya banyak hal menarik jika dikenal lebih dekat, Harenza fiero yang punya mata cantik,” Meldrick mengecup mata Harenza dan membuat Harenza memejamkan matanya.

“Harenza Fiero yang punya pipi gembul,” Meldrick mengecup pipi gembul Harenza.

“Harenza Fiero yang punya bibir cantik dan manis,” Meldrick mengecup bibir Harenza berkali-kali.

“Lo tetap menarik dalam kacamata gue, Za, lo kesayangannya gue. Lo manusia terhebat yang pernah gue kenal dan temui. Ayo senyum dulu, gue mau liat mana sih senyuman manisnya seorang Harenza Fiero yang dapat membuat seorang Meldrick Leandra pingsan?” Harenza terkekeh karena mendengar kalimat-kalimat keju yang suaminya itu lontarkan.

“Gitu dong ketawa. Mana senyumnya gue mau liat.”

Harenza tersenyum, Meldrick memegangi dadanya sambil mengaduh dan pura-pura pingsan.

“Aduh manis banget, pingsan aja kali ya.” Dada Meldrick terkena pukulan Harenza berulang kali.

“Sumpah lo alay bangeet, Mel.” Tetapi senyuman itu tidak dapat luntur, Harenza tidak dapat menyembunyikan rasa salah tingkahnya karena ulah suaminya.

“Jadi gimana, Mel? Kita jadi cerai gak?” Meldrick tiba-tiba menjadi diam.

“Mel? Kok diem?”

“Buat apa cerai. Mending kita kawin aja.” Meldrick membuka seluruh kancing piyama Harenza dengan cepat, sehingga membuat keduanya tertawa terbahak-bahak.

Meldrick mengecupi seluruh wajah Harenza. Harenza terkekeh karena merasa geli akibat dikecupi oleh suaminya.

Harenza bahagia memiliki Meldrick, pun juga sama dengan Meldrick. Keduanya saling membutuhkan.

“Mel, terimakasih, ya.”

“Terimakasih kembali, Sayangku.”

— fin.

Written by brownieszt.

Meldrick lelah karena hari ini ia disibukan oleh menjaga Kakak dikarenakan ia tidak mau Suaminya yang sedang hamil kecapekan.

Meldrick keluar dari kamar Calio dengan pelan agar tidak membangunkan anaknya yang sudah terlelap. Meldrick menutup pintu itu dengan pelan sehingga tidak ada suara pada saat ia menutupnya.

Meldrick turun menuju ruang makan, ia membuka kulkas dan mengambil soda kaleng untuk diteguknya. Kepalanya sangat pening karena ia belum istirahat sama sekali.

Harenza yang melihat sang suami sedang melamun dan minum soda itu pun lantas menghampiri. Ia menepuk pundak Meldrick dengan pelan sehingga membuat Meldrick mendongak menatap Suami manisnya.

“Capek?”

“Kenapa Sayang? Mau apa? Laper?”

Harenza menggeleng, ia menarik kursi makan itu lalu ia duduk disebelah Meldrick. Tangannya bekerja untuk mengelus kepala Meldrick.

“Capek banget, ya? Kakak hari ini rewel banget. Lusa Mbak udah pulang kok.” Harenza mengelus pipi Meldrick lalu ia memijat tangan kekar Suaminya itu dengan pelan.

“Ini yang lo rasain setiap hari ya, Za?” Harenza tersenyum.

“Enggak, Mel, kan gue setiap hari dibantu sama Mbak. Sini-sini.” Harenza merentangkan tangannya—seakan menyuruh Suaminya itu untuk merengkuhnya.

Meldrick merengkuh tubuh Harenza lalu mengangkatnya dan memindahkan Harenza untuk duduk dipangkuannya.

Harenza terkekeh karena Meldrick yang sudah kesusahan mengangkat dirinya.

“Ada dua bayi diperut gue, Mel.”

Meldrick mengusap perut Harenza dengan lembut.

“Aduh dasar Bayi kenapa ada diperut Yayah.”

“Kan dari lo!”

Meldrick tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Harenza.

Harenza menyimpan kepalanya didada bidang Meldrick, ia mendengarkan suara detak jantung Suaminya yang beraturan.

“Makasih ya, Mel. Hari ini lo hebat karena udah jagain Kakak, maaf ya gue gabisa bantuin, gatau kenapa hari ini gue ngerasa capek banget padahal gak ngapa-ngapain. Makasih karena udah mau ngeladenin gue sama Kakak. You're best Man and best Dad. I love you so much.” Harenza mengecup bibir Suaminya itu dengan sekilas lalu ia kembali memandangi Suaminya itu.

“I love you more, Za. I love you more than anything.”

Harenza yang mendengarnya terkekeh pelan, sangat keju sekali jika didengar.

“Sini deh gue cium biar capeknya hilang.”

“Dikamar aja gimana?”

“Gamau! Masih sore, Mel, ntar Kakak bangun loh.”

“Maksud gue biar bisa tiduran. Emang lo pikir apa?” Meldrick mencubit hidung Harenza gemas.

“Diem, gue malu anjir.”

Meldrick menangkup pipi Harenza lalu mengecup bibir mungil dan merah itu. Dilumatnya bibir itu dengan lembut sehingga membuat Harenza memejamkan matanya menikmati lumatan yang diberi oleh Suaminya.

Meldrick dengan sengaja menggigit bibir bawah Harenza sehingga membuat Harenza meremat baju Meldrick dengan kencang.

Keduanya saling berperang lidah sehingga air liur itu menetes.

Nafas Harenza habis ia menepuk dada Meldrick dengan pelan. Ciumannya telah terlepas.

Harenza meraup nafas dengan rakus sehingga membuat Meldrick yang melihatnya tersenyum gemas.

“Udah belum napasnya?”

Harenza mengangguk.

Meldrick memegang bibir Harenza lalu menjepitnya dengan kedua jarinya sehingga membuat bibir Harenza terbuka seperti ikan. Meldrick memasukan lidahnya kedalam mulut Harenza lalu mengabsen semua gigi Harenza dan lidahnya mengajak lidah Harenza untuk berperang.

Lidah Meldrick menjilat bibir Harenza yang sudah mulai membengkak karena ulahnya. Ia kembali mengecup bibir itu berkali-kali.

“Cantik. Lo cantik, Za, lo ngerti gak sih kalau lo itu cantik banget?” Wajah Harenza memerah saat mendengar perkataan Suaminya.

“Malu, Mel, udah tua.”

“Siapa bilang, lo itu tetep cantik gak peduli mau umur seberapapun.”

Harenza menyembunyikan wajahnya didada bidang Meldrick, ia sesekali mendusal pada dada Meldrick seperti kucing. Meldrick mengusap rambut Harenza.

“Ayo naik kita bobo.”

“Buat mie dulu, Mel, laper.”

Meldrick menepuk jidatnya.

— fin.

Written by brownieszt

Marcell dan Haekhal bergandeng tangan menikmati Bandung di siang hari. Banyak sekali orang berlalu lalang.

Keduanya sangat bahagia seperti pasangan paling bahagia di Bandung. Berjalan dibawa teriknya sinar matahari sambil tertawa.

“Sudah laper belum, Haekhal?” Kepala Marcell menunduk untuk bertanya kepada Haekhal yang tubuhnya lebih mungil dari Marcell.

“Udah, hehe.” Anak itu cengengesan, perutnya sudah minta diisi makanan karena ia belum sarapan tadi pagi.

“Disana rame tuh, ayo kesana, ada live music juga.” Marcell menunjuk sebuah cafe terbuka yang rame karena ada live music disana.

“Ayo Abang!” Haekhal mengajak Marcell untuk berlari menuju cafe itu.

Keduanya sudah duduk dan memesan makanan.

Marcell terus menatap Haekhal dengan tatapan kagum. Haekhal yang ditatap pun salah tingkah.

“Kenapasih Bang?”

Marcell mengelus pipi gembul Haekhal.

“Ini Cantiknya saya, Manisnya saya, Sayangnya saya.” Haekhal terkekeh pelan.

“Sumpah Bang, keju banget, sebel.”

Keduanya tertawa. Tuhan menggoreskan kebahagiaan diantara keduanya.

Alih fokus keduanya sudah berada pada live music.

Marcell berdiri hendak meninggalkan Haekhal sendiri.

“Mau kemana, Bang?”

“Saya mau nyanyi.”

“Loh emang bisa?”

Marcell mengusap rambut Haekhal lembut, “Ngeraguin saya, ya.”

Marcell sudah berdiri didepan kumpulan orang.

“Bang, saya boleh nyanyi?” Marcell bertanya kepada seorang laki-laki yang sepertinya umurnya tidak jauh berbeda darinya.

“Wah boleh banget, Kang! Mau nyanyi apa?”

“Perahu kertas.”

Marcell sudah berdiri didepan Mic, didepan hadapan banyak orang. Fokus Marcell kepada orang yang sedang duduk sendiri yang tidak berhenti menorehkan senyumannya, Haekhal Ardiyaksa yang baru kemarin menjadi Tunangannya.

Lantunan music mulai terdengar. Marcell mulai mendekatkan dirinya pada Mic yang senantiasa berdiri.

Perahu kertasku kan melaju membawa surat cinta bagimu

Suara lembut Marcell menyihir seluruh manusia yang ada disana untuk berteriak heboh. Haekhal yang mendengarnya merinding.

Kata-kata yang sedikit gila tapi ini adanya.

Perahu kertas mengingatkanku betapa ajaibnya hidup ini.

Sorakan dan tepuk tangan dari manusia disana sangat meriah tak terkecuali Haekhal.

Mencari-cari tambatan hati, kau sahabatku sendiri.

Marcell menunjuk Haekhal.

Hidupkan lagi mimpi-mimpi.

Marcell turun dari panggung kecil itu menuju sang kekasih yang sejak tadi menatapnya sangat bangga.

Marcell menggenggam tangan Haekhal lalu mengajaknya berdiri. Marcell merengkuh pinggang sempit Haekhal.

Ku bahagia, kau telah terlahir didunia dan kau ada diantara miliaran manusia

Dan ku bisa dengan radarku menemukanmu

Tepukan tangan sangat meriah disana. Handphone banyak sekali yang berdiri untuk mendokumentasikan mereka. Bisikan serta bisikan serta terdengar. Banyak yang bilang keduanya adalah pasangan yang sangat bahagia.

Music telah berhenti. Marcell memeluk Haekhal didepan umum, tidak ada malu sedikitpun untuk memberitahu bahwa ia sangat bahagia bersama Haekhal.

“Ini Cintanya saya.” Marcell berbicara didepan mic sehingga semua orang dapat mendengarnya.

“Ini Sayangnya saya.” Marcell melanjutkan perkataanya.

“Saya beruntung sekali mengenal anak ini.”

“Abang malu ih.” Haekhal berbisik sehingga hanya Marcell yang mendengarnya.

“Ngapain malu? Saya tidak akan pernah malu memberitahu bahwa saya mencintaimu.”

Marcell kembali memeluk Haekhal dengan sangat erat, manusia disana tidak pelit akan tepuk tangan yang meriah.

“Kalian hebat!”

“Langgeng terus ya!”

“Keren! Bahagia terus!”

Kira-kira seperti itu ucapan manusia yang ada disana yang menjadi saksi cinta Marcell dan Haekhal.

“Haekhal.” Ibu memanggil Haekhal yang sedang bercanda bersama Cia dan Rubi diruang tengah. Haekhal yang dipanggil pun lantas menengok.

“Sini, Ibu mau bicara.” Ibu tersenyum tipis tangannya melambai seakan menyuruh Haekhal mendekati Ibu. Haekhal berjalan mendekati Ibu yang sedang duduk dikursi makan.

“Sini duduk, Haekhal.” Ibu menarik kursi lalu menyuruh Haekhal untuk duduk. Dada Haekhal berdegup cepat sekali, ia kebingungan, sangat takut, tetapi ia tetap duduk dikursi yang sudah Ibu tarik.

Ibu meraih tangan kanan Haekhal yang terpasang cincin yang diberikan Marcell lalu Ibu mainkan cincin itu diputernya cincin itu. Ibu tersenyum melihat cincin yang terpasang dijari manis Haekhal, cantik sekali.

“Kalian sudah saling mencintai?” Ibu menatap Haekhal, Haekhal mengangguk.

“Menikah tidak segampang dan tidak seindah yang kamu bayangkan, Haekhal. Mungkin menurut kamu menikah itu perihal hidup bersama dengan orang yang kamu sayangi lalu kamu akan hidup bahagia. Tetapi sebenarnya tidak seperti itu. Rumah tangga itu ada aja nanti masalahnya. Masalah perbedaan pendapat, mau punya anak berapa, mau punya rumah atau tinggal di apart. Tidak peduli kamu menikah dengan orang yang sangat kamu cintai atau kamu benci, masalah itu pasti akan datang dan menguji kamu.” Ibu mengelus tangan Haekhal lalu bibirnya tertarik, Ibu tersenyum menatap Haekhal.

“Tetapi kamu bisa saling membuat komitmen. Kalian bisa menentukan ingin punya anak berapa, perempuan atau laki-laki, kalian bisa menentukan ingin tinggal dirumah atau diapart, kalian bisa menentukan dirumah ada art atau tidak. Dari sekarang, Haekhal, kalian harus menyiapkan semuanya agar tidak kaget saat memulai rumah tangga.” Haekhal hanya mengangguk, dia merekam semua wejangan dari calon Ibu Mertuanya itu.

“Ibu gagal dalam pernikahan, dan Ibu takut itu terjadi pada anak Ibu. Makanya Ibu takut sekali melepas anak Ibu menikah, tetapi Ibu sudah bisa menerima itu. Haekhal, berbahagialah bersama Marcell.”

Ibu maju mendekati Haekhal dan memeluk Haekhal, Haekhal sangat kaget akan kejadian tiba-tiba itu. Ibu memeluknya? Ibu memeluknya????? Pelukan itu adalah pelukan yang sudah lama tidak Haekhal dapatkan, pelukan dari seorang Ibu. Haekhal perlahan mendengar isakan Ibu, Ibu menangis dalam pelukannya.

“Ibu, terimakasih sudah menerima aku. Terimakasih, Bu...” Haekhal bingung sekali ingin bicara apa, lidahnya kelu.

Ibu melepas pelukannya, Ibu terkekeh lalu menyeka air matanya, “Ibu cengeng sekali, ya, aduh malu nangis didepan mantu.” Ibu mengusap bahu Haekhal.

Mantu??? Mantu???

“Nanti berbagi sama Ibu, ya, cerita saja sama Ibu kalau kamu sedang kesulitan, Ibu janji pasti Ibu akan bantu semua kesulitan kamu.” Haekhal mengangguk, sungguh lidahnya sangat kelu, sehingga Haekhal tidak dapat mengeluarkan suara.

“Terimakasih, Bu...” Itulah ucapan yang dapat keluar dari mulut Haekhal.

“Sudah ngucapin terimakasih terus, Ibu tidak ngasih apa-apa.” Ibu menepuk bahu Haekhal pelan tetapi tepukan pada bahunya seperti menguatkan bahu sempit Haekhal.

© brownieszt

“Haekhal.” Ibu memanggil Haekhal yang sedang bercanda bersama Cia dan Rubi diruang tengah. Haekhal yang dipanggil pun lantas menengok.

“Sini, Ibu mau bicara.” Ibu tersenyum tipis tangannya melambai seakan menyuruh Haekhal mendekati Ibu. Haekhal berjalan mendekati Ibu yang sedang duduk dikursi makan.

“Sini duduk, Haekhal.” Ibu menarik kursi lalu menyuruh Haekhal untuk duduk. Dada Haekhal berdegup cepat sekali, ia kebingungan, sangat takut, tetapi ia tetap duduk dikursi yang sudah Ibu tarik.

Ibu meraih tangan kanan Haekhal yang terpasang cincin yang diberikan Marcell lalu Ibu mainkan cincin itu diputernya cincin itu. Ibu tersenyum melihat cincin yang terpasang dijari manis Haekhal, cantik sekali.

“Kalian sudah saling mencintai?” Ibu menatap Haekhal, Haekhal mengangguk.

“Menikah tidak segampang dan tidak seindah yang kamu bayangkan, Haekhal. Mungkin menurut kamu menikah itu perihal hidup bersama dengan orang yang kamu sayangi lalu kamu akan hidup bahagia. Tetapi sebenarnya tidak seperti itu. Rumah tangga itu ada aja nanti masalahnya. Masalah perbedaan pendapat, mau punya anak berapa, mau punya rumah atau tinggal di apart. Tidak peduli kamu menikah dengan orang yang sangat kamu cintai atau kamu benci, masalah itu pasti akan datang dan menguji kamu.” Ibu mengelus tangan Haekhal lalu bibirnya tertarik, Ibu tersenyum menatap Haekhal.

“Tetapi kamu bisa saling membuat komitmen. Kalian bisa menentukan ingin punya anak berapa, perempuan atau laki-laki, kalian bisa menentukan ingin tinggal dirumah atau diapart, kalian bisa menentukan dirumah ada art atau tidak. Dari sekarang, Haekhal, kalian harus menyiapkan semuanya agar tidak kaget saat memulai rumah tangga.” Haekhal hanya mengangguk, dia merekam semua wejangan dari calon Ibu Mertuanya itu.

“Ibu gagal dalam pernikahan, dan Ibu takut itu terjadi pada anak Ibu. Makanya Ibu takut sekali melepas anak Ibu menikah, tetapi Ibu sudah bisa menerima itu. Haekhal, berbahagialah bersama Marcell.”

Ibu maju mendekati Haekhal dan memeluk Haekhal, Haekhal sangat kaget akan kejadian tiba-tiba itu. Ibu memeluknya? Ibu memeluknya????? Pelukan itu adalah pelukan yang sudah lama tidak Haekhal dapatkan, pelukan dari seorang Ibu. Haekhal perlahan mendengar isakan Ibu, Ibu menangis dalam pelukannya.

“Ibu, terimakasih sudah menerima aku. Terimakasih, Bu...” Haekhal bingung sekali ingin bicara apa, lidahnya kelu.

Ibu melepas pelukannya, Ibu terkekeh lalu menyeka air matanya, “Ibu cengeng sekali, ya, aduh malu nangis didepan mantu.” Ibu mengusap bahu Haekhal.

Mantu??? Mantu???

© brownieszt