baikan.
Harenza suasana hatinya sudah mulai membaik. Dengan perlahan ia turun dari ranjangnya dan membuka pintu kamarnya. Rumahnya yang sangat gelap dan sepi, dikarenakan sejak sore ia belum keluar kamar dan menyalakan lampu. Harenza perlahan turun.
Ia sudah sampai didepan pintu rumahnya yang besar, sebelum membuka pintu itu, ia membuka gorden jendelanya dan melihat Suaminya yang sedang duduk dikursi depan rumahnya.
Harenza mengusap air matanya yang masih saja mengalir, ia membuka kunci itu dengan perlahan. Ia dekati Suaminya, yang ternyata sudah memejamkan matanya. Harenza kembali meneteskan air matanya dikarenakan melihat kondisi Suaminya.
Ia menepuk bahu Suaminya pelan. Dan membuat sang pemilik bahu itu mendongak dan menatapnya, Meldrick mengucak matanya pelan untuk menghilangkan kantuknya, ia tersenyum menatap Harenza.
“Udah baikan hatinya?” Harenza tidak menjawab. Harenza tinggal masuk Suaminya itu sendiri. Meldrick yang melihat tingkah Suaminya hanya menghela napasnya kasar lalu mengusak rambutnya dengan kasar, ia sangat frustasi.
Meldrick perlahan berdiri dan memasuki rumahnya yang berdiri megah. Tak lupa ditangan kanannya ada tas kantornya dan ditangan kirinya ada jas nya yang sudah ia lepaskan sejak sampai rumah.
Meldrick melihat Harenza yang sedang duduk diam disofa ruang tengah. Ia mendekati Suaminya, lalu duduk persis disebelah Suaminya.
“Maaf, ya. Maaf banget, gue minta maaf banget karena udah ingkarin janji gue—”
“Capek?” Harenza menyelak perkataan Meldrick. Yang ditanya pun menengok, menatap mata cantik Harenza, keduanya saling menatap.
“Gue tanya, Mel, capek gak?”
“Capek apa?”
“Capek kerja lah, lo capek kan? Yaudah istirahat aja.”
Meldrick hanya menggeleng pelan.
“Gausah geleng-geleng, gue tau, Mel, muka lo capek banget.”
Harenza tidak menunggu jawaban Meldrick. Ia merebahkan dirinya disofa panjang itu, lalu memencet tombol dibawah sana, sehingga sofa itu menjadi besar dan dapat ditidurkan oleh dua orang lebih.
“Sini ih.” Harenza menepuk-nepuk tempat disebelahnya menyuruh Suaminya itu untuk tidur disebelahnya.
Meldrick pun menuruti perkataan Suaminya, ia tiduran disebelah Harenza dan memeluknya dengan sangat erat.
“Gue bener-bener ada kerjaan mendadak tadi sore, Za, pas gue bilang mau pulang eh gue malah dipelototin sama Daddy. Maaf, ya, jangan nangis lagi, gue gasuka liat lo nangis kayak gini, gue gasuka.” Meldrick mengusap air mata Harenza yang entah mengapa kembali mengalir.
“Gue gabisa ngertiin lo, Mel, seharusnya gue bisa ngertiin lo, kan bisa waktu lain. Tapi gue malah gini, seakan-akan nuntut lo buat nurutin dan nepatin semua janji lo. Maaf, Mel, seharusnya gue yang minta maaf.”
Meldrick tersenyum mendengarnya lalu ia menggelengkan kepalanya dan mengecup pipi gembul dan basah milik Suaminya. Meldrick mengusap pipi Harenza dengan lembut, ia mainkan pipi itu.
“Lo lagi hamil, Za, gue ngerti banget, lo lagi sensitif-sensitifnya. Gausah minta maaf gitu, gue yang salah gabisa nepatin janji gue. Jangan nangis lagi, tuh liat mata cantiknya udah mulai sembab gitu.”
Meldrick mengusap mata Harenza dengan pelan, membuat Harenza memejamkan matanya.
“Besok aja kita nonton, ya.”
Harenza menggeleng, ia menatap mata Suaminya.
“Trus maunya gimana?”
“Mau lo dirumah aja.”
“Yaudah besok gue seharian dirumah temenin lo, gitu?”
Harenza mengangguk lemah, ia menarik pinggang Meldrick untuk mengeratkan pelukannya.
“Tapi besoknya gue mau nonton.”
Meldrick tersenyum lalu mengecup bibir Harenza berkali-kali.
“Iya, boleh banget.”
— fin.
Written by brownieszt.