brownieszt

“Bang, ini kita mau ngapain sih?” Haekhal membisiki Marcell, Marcell yang mendengar itu hanya tersenyum lalu mengelus tangan Haekhal lembut.

“Nanti kamu akan tau.” Haekhal berdecih kesal akibat Marcell yang sangat menyebalkan, memangnya tidak bisa menjawab pertanyaanya?

Diruang tengah rumah Haekhal itu lumayan besar sehingga dapat ditinggali banyak orang seperti, Marcell, Haekhal, Ibu, Ayah, Cia, Galang, Rubi. Mereka semua berkumpul diruang tengah atas perintah Marcell.

Marcell tersenyum saat melihat Ibu yang sudah mulai mengobrol dengan Ayah dan Rubi, dia menyunggingkan senyumannya.

“Mas, lama banget sih, Ibu sudah ngantuk ini, cepetan ada apa.” Ibu protes akibat mereka semua sudah dikumpulkan diruang tengah itu selama 1 jam tetapi mereka tidak tau maksud dari mereka dikumpulkan apa.

Marcell tersenyum tulus menatap Haekhal yang berada disebelahnya, Haekhal yang ditatap hanya mengernyitkan keningnya bingung.

“Saya disini mengumpulkan kalian semua karena,” Marcell mengenggam tangan Haekhal, Haekhal mulai mengerti maksud Marcell, dadanya berdegup cepat saat melihat Marcell tersenyum dan tidak mengalihkan pandangannya darinya.

“Dihadapan Ibu, dihadapan Ayah, dihadapan Galang, Rubi, dan Cia. Saya ingin meminta izin untuk mengajak Anak dan Adik kalian ini mengikat hubungan yang lebih serius,” Marcell menatap Haekhal tersenyum.

“Ayah, izinkan saya untuk mencintai anak Ayah dan meminjam anak Ayah untuk menjadi pendamping hidup saya selamanya. Saya ingin anak Ayah ini yang menemani saya dari saya buka mata hingga saya tutup mata. Ibu, izinkan Mas untuk mengajak Haekhal menikah. Galang, Rubi, izinkan saya untuk mengajak Adik kalian berbahagia bersama saya. Saya janji untuk membuat Haekhal terus tersenyum dan tertawa, saya janji tidak akan pernah membuat air matanya mengalir membasahi pipinya yang cantik.”

Diam-diam Ibu menangis, suasananya yang haru mendukung untuk Ibu menangis. Tetapi Ibu langsung menyeka air matanya itu dengan cepat agar anaknya itu tidak melihat beliau menangis.

“Ayah izinkan, Nak.” Ayah tersenyum menatap Marcell dan Haekhal. Ayah berani mengizinkan karena Ayah melihat sorot bahagia dari keduanya dan membuat dirinya yakin akan memberikan anaknya untuk diajak menikah.

“Saya sebagai Abang Haekhal, saya akan pikir-pikir dulu.” Ujaran itu lantas mendapatkan pukulan dibahunya dari sang istri tercinta.

“Serius dulu gabisa?”

“Bercanda, Sayang, biar gak tegang-tegang banget.”

Manusia yang ada diruang tengah itu lantas tertawa akibat ucapan Galang.

“Gue izinkan, Mar, awas sampe lo nyakitin adek gue.” Galang menggulung baju lengan panjangnya seperti mengajak Marcell berduel.

“Kita adu panjang.” Lanjutan dari kalimat Galang. Pukulan didapatkan lagi dari sang istri dan lemparan buah rambutan dari Haekhal tepat mengenai bahunya.

“Kenapasih manusia disini galak-galak semua.”

“Adu panjang apa, Mas?” Pertanyaan polos dari mulut anak remaja berumur 15 tahun.

Galang menyengir lalu, menunjukan jari kelingkingnya, “Adu panjang jari kelingking, Dek. Kan punyanya Abangmu pendek.”

“Bang Galang keluar lo! Atau gue tendang lo dari sini. Rusuh banget sih, heran.”

“Yaudah iya nih diem, nih.” Galang mengatupkan bibirnya, ia takut Adiknya itu benar-benar menendangnya. Haekhal tidak bercanda dengan ucapannya, jika ia mengancam seperti itu pasti akan Haekhal lakukan nantinya.

Marcell terkekeh.

“Ibu? Apakah Ibu mengizinkan?”

Ibu terdiam, tangan Ibu yang dingin Cia genggam seolah-olah memberikan Ibu semangat.

Ibu menundukkan kepalanya, air matanya mengalir deras.

“Ibu, mengalah demi Mas, ya, Bu?” Cia membisikan kalimat itu kepada Ibu. Ibu menarik nafasnya, lalu mendongakkan kepalanya dan menyeka air matanya.

Ibu tersenyum walau air mata itu tidak dapat berbohong dan terus mengalir, “Ibu izinkan.” Kalimat itu membuat Haekhal sangat ingin lompat-lompat dan teriak.

“Terimakasih, Ibu.” Marcell tersenyum tulus menatap sang Ibu. Marcell tidak melepaskan genggaman pada tangan Haekhal.

Marcell kini menatap Haekhal, Haekhal yang ditatap pun salah tingkah.

“Haekhal Ardiyaksa. Maukah kamu menjadi pendamping hidup saya dan menikmati sisa usia bersama saya? Saya mencintaimu. Menikahlah bersama saya, Haekhal.”

Haekhal bahagia saking bahagianya ia tidak sadar bahwa air matanya sudah mengalir bebas disudut matanya.

“Saya Haekhal Ardiyaksa menerima atas ajakanmu untuk menikmati sisa usia bersama. Saya bersedia menikah denganmu, Marcello Artarendra.”

Marcell tersenyum sangat lebar, ia mengeluarkan kotak kecil cantik berisi cincin cantik.

Marcell tersenyum saat melihat cincin ranting buatannya dua minggu yang lalu masih terpasang cantik di jari manisnya Haekhal.

Marcell melepaskan cincin ranting itu lalu menggantikan cincin yang cantik sesuai dengan janjinya minggu lalu.

“Cantik sekali, Haekhal.” Marcell mengecup tangan Haekhal.

“Terimakasih ya, Bang, sudah menepati janjinya.” Marcell yang mendengar itu hanya tersenyum lalu mengusap rambut Haekhal.

“Ciuman! Ciuman! Ciuman!” Itu adalah sorakan dari Galang, heboh sekali.

“Heh, ada anak kecil.” Rubi menyahut atas sorakan suaminya itu.

“Gapapa, Cia tutup mata nih, Cia tidak lihat.” Ayah, Ibu, Galang, Rubi, Marcell dan Haekhal lantas tertawa karena Cia yang menutup matanya dengan telapak tangannya. Kepala Cia, Ayah usap dengan lembut.

Marcell mempertemukan bibirnya dengan bibir Haekhal, Marcell mengecup sekilas bibir manis itu.

“Udah belum sih? Lama banget!” Protes Cia.

Haekhal terkekeh, “Udah, Cia.”

Cia membuka matanya.

“Cieee Mas Ekhal cieee. Ciee Mas Marcell. Yess Cia punya banyak Kakak.” Sorak bocah remaja itu bahagia sekali.

© brownieszt

Haekhal terus menggenggam tangan Marcell dengan erat, ia rapalkan doa tanpa henti agar Marcell dapat kembali tersadar.

“Abang, kangen, ayo bangun. Ayo jalan-jalan. Jangan tidur terus.” Tanpa sadar Haekhal kembali meneteskan air matanya.

“Bang, lo gak kangen gue? Yakin gak kangen gue? Gue aja kangen banget loh.” Haekhal menyenderkan kepalanya dibahu Marcell.

“Udah 3 hari lo tidur, gak capek? Ayo bangun... Katanya mau lamar gue.” Haekhal membuat pola abstrak di sprei. Kepalanya masih terus tersandar dibahu besar Marcell.

Pintu kamar ruang inap itu terbuka membuat Haekhal menegakkan tubuhnya, tidak lagi bersandar dibahu Marcell.

Satu wanita paruh baya dan satu remaja wanita, yang dapat Haekhal pastikan mereka adalah Ibu dan Adik tirinya Marcell.

“Ibu? Cia?”

“Mas ekhaaaalll.” Cia berlari menghampiri Haekhal dan memeluknya dengan erat.

“Marcia, kamu tidak usah meluk-meluk penjahat seperti dia.” Ibu menarik tangan Cia membuat pelukan Cia dan Haekhal terlepas.

Haekhal kaget karena ucapan Ibu, apa maksudnya, penjahat?

“Maksudnya Ibu apa ya?”

Ibu mendorong lengan Haekhal pelan, membuat hati Haekhal terluka, bukan lengannya yang terluka tetapi hatinya.

“Kamu penjahat tidak pantas ada disini. Keluar!” Ibu berteriak didepan muka Haekhal dan menunjuk pintu menyuruh Haekhal keluar.

“Ibu... Ibu kok gitu sama Mas Ekhal, Mas Ekhal kan gak salah.” Cia membela Haekhal. Raut wajahnya sangat sedih karena Haekhal diperlakukan tidak baik oleh Ibunya.

“Kamu tidak usah ikut-ikut, Marcia!” Ibu menatap Cia sinis lalu tatapannya itu kembali kepada Haekhal yang masih diam membeku.

Haekhal mengepalkan kedua tangannya erat-erat, menahan emosinya, sakit hatinya dan tangisannya.

“Tapi Bu... Saya...”

“Tidak ada alasan, keluar!” Ibu menarik tangan Haekhal dan mendorongnya keluar dari kamar.

Haekhal keluar dari kamar itu meninggalkan Marcell yang sedang berjuang.

“Maaf, Bang...” Haekhal berucap pelan sebelum ia keluar dari kamar.


“Ibu! Tangan Mas Marcell gerak-gerak.” Betul saja tangan Marcell bergerak.

“Panggil dokter, Cia.” Ibu menyuruh Cia untuk memanggil dokter.

“Haekhal.... Haekhal....” Ucapan pertama Marcell saat ia tersadarkan diri dari koma selama tiga hari.

“Ibu.... Haekhal dimana?” Pertanyaan pertama Marcell setelah ia sadarkan diri. Bahkan baru sadar saja ia hanya mengkhawatirkan Haekhal bukan dirinya sendiri yang bahkan perlu dikhawatirkan.

Ibu tidak menjawab, Ibu hanya diam.

“Ibu? Haekhal, dimana?”

“Diusir sama Ibu, Mas!” Cia datang dengan dokter dan suster itupun langsung menyahut pertanyaan Marcell.

“Bu, kenapa jahat sekali, sih? Haekhal tidak salah apa-apa, kenapa diperlakukan seperti itu? Haekhal tidak salah, Bu.”

“Mas, kamu itu fokus sama diri kamu aja dulu baru khawatirin anak orang. Lagipula dia yang bikin kamu seperti ini.”

“Bu...”

“Diam kamu! Dokter bagaimana kondisi anak saya?” Ibu mengalihkan topik, Marcell hanya menggelengkan kepalanya. Marcell pusing sekali karena ia sedang memikirkan Haekhal.

Dikepalanya Marcell hanya Haekhal, Haekhal dan Haekhal. Bukan kesehatannya.

“Pak Marcell? Apa yang anda pikirkan? Jangan dibuat stress ya, tidak baik, Pak.”

“Kepala saya pusing sekali, Dok.” Marcell memegangi kepalanya yang sangat pusing.

“Jangan pikirkan apapun dulu ya, Pak. Sudah sempurna semua, Bu. Tetapi tolong anaknya jangan diberi beban pikiran, ya. Ibu boleh ikut saya untuk membayar administrasi?”

Ibu hanya mengangguk, “Marcia jaga Masmu jangan sampai bertemu Haekhal.” Cia yang diajak ngomong hanya diam terlihat tidak peduli, karena Cia pun kesal dengan Ibunya itu.

Ibu meninggalkan Marcell dan Cia dikamar berdua.

“Mas, sstt.” Marcell menengok menatap Adiknya.

“Sana temui Mas ekhal.”

“Dimana, Dek? Bagaimana Ibu?”

Cia memukul lengan Marcell lumayan kencang membuat Marcell meringis.

“Cowok bukan sih, Mas? Masa sama Ibu doang takut. Cia sudah chat Mas Ekhal katanya Mas Ekhal ada ditaman.”

Cia menjauhi Marcell untuk mengambil kursi roda dipojok kamar. Dan kursi roda itu ia dekatkan pada Marcell.

Cia membantu Marcell yang masih susah untuk berdiri. Marcell meringis sebab sakit menyerang diperutnya.

Dan dengan seluruh perjuangan Cia karena hanya ingin Marcell duduk dikursi roda berhasil juga.

Marcell sudah sempurna duduk dikursi roda.

Cia mendorong kursi roda itu pelan, “Kalau dimarahin Ibu, gapapa, Mas. Itu namanya perjuangan demi sang kekasih.” Marcell yang mendengar tuturan Adiknya lantas terkekeh.

“Tau darimana kamu?”

“Dari drama korea, hehe.” Cia cengengesan.

“Tenang aja, Mas. Cia dukung Mas sama Mas Ekhal. Pokonya inimah Mas harus berjuang terus demi mendapatkan restu Ibu.” Cia terus mendorong kursi roda dengan tuturannya yang tidak ada habisnya itu, ada saja yang dibicarakan.


Cia mendekati Marcell kepada Haekhal yang sedang duduk dibangku taman rumah sakit dengan menunduk terlihat sedang putus asa.

“Haekhal...” Haekhal yang merasa dipanggil pun langsung mendongak karena suara itu tidak asing.

Haekhal yang melihat Marcell dan Cia pun langsung berdiri dan mendekati Marcell.

Haekhal berjongkok, ia tautkan tangannya dengan tangan Marcell.

“Emm Cia mau kesana dulu, ya. Dadah Mas.” Haekhal mengusak rambut Cia pelan lalu tersenyum menatap remaja berusia 15 tahun itu.

“Abang, udah sadar? Masih sakit?” Haekhal memegang perut Marcell dan disambut oleh ringisan Marcell, Haekhal terlihat panik karena memegang luka Marcell.

“Eh... Maaf, Bang.”

“Haekhal, tolong peluk saya.”

Haekhal yang diminta itu pun langsung memeluk Marcell, ia mendengar ringisan Marcell karena Haekhal tidak sengaja menyetuh luka tembak Marcell.

“Abang, maaf, ini salah gue. Maafin gue, Bang.” Marcell tersenyum lalu tangannya terulur mengusap pipi gembul Haekhal. Tangan Haekhal menyentuh tangan Marcell yang ada dipipinya.

“Haekhal, ayo berjuang. Ayo berjuang untuk mendapatkan restu Ibu. Mau kan, Haekhal? Haekhal, tolong jangan menyerah, ayo berjuang lagi.”

Haekhal mengangguk dengan air mata yang menetes disudut matanya.

“Iya, Abang. Ayo berjuang sekali lagi. Gue mau asal itu sama lo, gue mau, Bang.” Marcell yang mendengar itupun lantas tersenyum.

“Terimakasih Haekhal, saya mencintaimu.”

“Gue juga, Bang.” Haekhal tersenyum tulus.

“Haekhal, tolong ambikan rating itu.” Marcell menunjuk rating kecil yang berada dibawah dekat kakinya.

Haekhal meraih ranting itu lalu memberinya kepada Marcell.

Ranting itu Marcell potek menjadi kecil. Dengan telaten Marcell membuat ranting itu menjadi cincin yang cantik. Haekal takjub melihat keahlian tangan Marcell.

Marcell meraih tangan Haekhal, lalu memasangkan cincin itu dijari manis Haekhal. “Haekhal, saya belum bisa membelikan cincin yang cantik, tetapi saya harap ini bisa menandakan bahwa kamu milik saya seorang.”

“Maksudnya apa, Bang?”

“Jadi milik saya, ya. Ini hanya sementara, besok saya akan belikan cincin yang cantik lalu memasangkan pada kamu didepan Ayah dan Ibu. Saya akan membawa kamu lebih serius lagi, tungguin saya, ya. Kita berjuang lagi.”

Haekhal menatap jari manisnya yang terpasang cincin ranting buatan Marcell, Haekhal tersenyum tetapi air matanya mengalir.

Marcell menyeka air mata Haekhal, “Jangan menangis, Haekhal. Ayo tersenyum lagi, saya suka melihat senyuman kamu.” Haekhal tersenyum lalu kembali memeluk Marcell. Marcell mengelus rambut Haekhal.

“Saya mencintaimu. Sangat mencintaimu, Haekhal.”

“Gue lebih, Bang. Gue cinta sama lo, Bang.” Pipi Haekhal merona saat mengucapkan kata itu.

“Sebanyak apa, Haekhal?”

Haekhal membuka tangannya, “Sebanyak ini.”

“Itumah sedikit.”

“Emang lo sebesar apa sayang sama gue?”

“Sebesar dunia ini, Haekhal. Kamu itu dunia saya, apapun cara agar saya dapat bersama kamu, saya akan lakukan.”

Haekhal tertawa, “Jangan buat gue tambah sayang dong.”

“Marcello Artarendra!” Ibu mendekati Marcell dan Haekhal, membuat keduanya sangat kaget.

“Ibu bilang jangan mendekati dia!” Ibu menarik kursi roda itu dan membuat Haekhal terjatuh dengan posisi terduduk ditanah.

Cia yang melihat adegan itupun langsung mendekati Ibu dan Abangnya.

“Ibu, ini Cia yang menyuruh Mas untuk menemui Mas Haekhal. Marahi Cia saja, Bu, jangan Mas, marahi Cia.”

“Diam kamu Cia!”

“Saya sudah memperingati kamu, ya. Jangan kamu mendekati anak saya.” Ibu menunjuk-nunjuk Haekhal.

“Ibu, mau sebesar apapun usaha Ibu untuk menjauhi Mas dengan Haekhal, tidak akan bisa, Bu. Akan sia-sia, karena Mas dan Haekhal saling mencintai dan Mas akan melakukan semua cara agar Mas dapat bersama Haekhal.”

Cia mengangguk mendengar Marcell. Cia mengangkat tangannya, “Cia akan bantu semua usaha Mas agar Mas bisa bersama Mas Haekhal, Bu. Apa? Ibu harap Cia akan takut? Maaf Ibu, Cia tidak takut membela orang yang tidak seharusnya Ibu perlakukan seperti ini.” Remaja 15 tahun itu tidak takut berujar seperti itu.

“Mas Haekhal ayo bangun, ayo tunjukin seberapa besar sayang Mas ke Mas Marcell.” Cia mengulurkan tangannya untuk membantu Haekhal bangun.

Haekhal bangun, genggaman yang diberi Cia itu sangat erat seperti menyemangatinya. Haekhal menarik nafasnya.

“Saya akan berusaha agar saya bisa bersama dengan anak Ibu. Saya mencintai anak Ibu dan saya akan berusaha, Bu.” Haekhal mengatakan itu dengan tegas membuat Marcell tersenyum dan membuat Cia mengangguk semangat.

“Tiga lawan satu. Ibu kalah, ayo mengalah, Bu.” Cia masih saja membela sang Abang.

“Marcia, Marcello, tidak usah anggap Ibu lagi, kalian. Dasar anak durhaka!” Ibu pergi meninggalkan Marcell, Haekhal, dan Cia.

Haekhal menatap punggung Ibu yang perlahan menghilang, “Bang? Gimana?”

“Jangan khawatir, Mas. Nanti juga kalau Ibu sadar Ibu balik lagi.”

Marcell hanya mengangguk.

“Adek, kamu sementara tinggal bersama Mas Haekhal dulu, ya.”

Cia yang mendengar itu matanya langsung berbinar menatap Haekhal.

“Boleh Mas?”

Marcell mengangguk, “Ibu kan pergi, untuk sementara tinggal bersama Mas Haekhal dulu.” Cia yang mendengarnya mengangguk ribut.

Haekhal terkekeh melihat prilaku menggemaskan Cia.

“Kamu kenapa semangat banget sih, Cia? Memangnya gak sedih Ibu marah?” Haekhal mengusak rambut panjang Cia dan memainkannya dengan menyisiri rambut hitam panjang itu.

“Buat apa sedih, Ibu salah. Nanti juga akan ada saatnya Ibu tau kalau Ibu salah. Kata Ayah dulu, Cia tidak boleh membela orang yang salah.”

“Aduh lucunya.” Haekhal menarik Cia lalu memeluknya dengan sangat erat, bocah ini menyelamatkan hubungannya dengan Marcell, hebat sekali, bukan?

“Aaa Mas mau peluk juga.” Haekhal dan Cia terkekeh bersama.

Marcell berusaha untuk berdiri dan berhasil, Marcell dapat berdiri meski ia terus meringis karena perutnya yang perih.

Marcell memeluk kedua orang yang sangat ia sayang.

“Mas sayang kalian.”

“CIA SAYANG MAS JUGA!!!!!”

“Aku sayang Abang juga.”

Cia perlahan keluar dari pelukan itu.

“Cieeee Mas cieeeee.” Cia meledeki Masnya, karena Marcell berhasil memeluk Haekhal.

Marcell mengecup pucuk rambut Haekhal.

“Terus bersama saya, ya.”

“Aku janji akan selalu bersama Abang.”

“Cieeeeeeeeeeee.”

© Brownieszt

Marcell, Yudhis, Danu, dan Polisi-polisi sudah berada dirumah kecil tidak layak huni.

Marcell memberi kode kepada anak buahnya untuk berpencar. Polisi-polisi itu sudah menghalangi pintu belakang dan pintu depan.

Marcell, Yudhis, dan Danu mendekati rumah itu dengan mengendap-endap agar pelaku tidak kabur.

Mereka bertiga sudah didepan pintu rumah itu dengan pistol ditangannya.

Pintu itu dibuka kasar dengan kaki Marcell sehingga membuat manusia yang sedang diiket dan mulut ditutup itu berjengit kaget.

Hati Marcell sangat sakit saat melihat orang yang disayangnya diperlakukan tidak baik seperti ini.

Kevin, yang mengaku Adik tiri Marcell itu pun lantas tertawa sarkas saat Marcell menemuinya.

“Hebat juga lo, Bang, bisa nemuin kita. Iya gak, Sayang?” Kevin menyentuh dagu Haekhal dan membuat suara tembakan pistol itu mengudara.

Marcell menarik pelatuk pistolnya dan mengarahkan pistolnya ke langit langit rumah sebagai peringatan.

“Sampai anda berani menyentuh kekasih saya, peluru ini akan membuat jantung anda bolong.”

Kevin tertawa terbahak-bahak karena mendengar ancaman dari Abang tirinya itu.

“Emangnya gue gabisa buat kepala pacar lo ini bolong? Gue juga bisa kali.” Kevin mengeluarkan pistol dari kantung celananya dan menempatkan kepala pistol itu di kepala Haekhal membuat Haekhal memejamkan matanya ketakutan.

Saat pistol itu diarahkan ke kepala Haekhal. Marcell, Yudhis, Danu menodongkan pistol yang dipegang ke Kevin tidak terkecuali polisi-polisi yang ada disana.

“Jatuhkan pistol anda, Kevin.” Danu memperingati Kevin. Kevin yang diperingati hanya tertawa sarkas.

“Apa alasan anda melakukan ini? Saya tidak pernah menyikiti anda bahkan keluarga anda.”

“Lo mau tau alasan gue? Gue diperlakukan tidak adil sama bokap lo, Bang. Gue dipukulin, gue ditampar sama bokap lo. Tapi lo hidupnya enak-enak aja, lo punya pacar gemes kayak bocah ini, lo punya keluarga yang baik. Lo hidupnya baik-baik aja. Jadi gue mau buat hidup lo berantakan, Bang.”

Saat Kevin bicara, ini kesempatan Marcell, ia perlahan mendekati Kevin.

“Sampe lo mendekat, gue tembak kepala pacar lo, Bang.” Kevin sudah ingin menarik pelatuk pistol itu.

Yudhis mengode kepada Marcell agar Marcell diam ditempat.

“Lalu apa mau anda?”

“Mau gue?” Kevin dengan cepat mengarahkan pistol yang dipegang itu kepada Marcell lalu menarik pelatuk pistol itu mengenai perut Marcell.

Marcell tidak jatuh saat peluru itu menusuk perutnya, tetapi ia langsung menembak Kevin tepat di bahunya membuat Kevin jatuh dan memegangi bahunya.

Marcell jatuh, kakinya melemas. Ia sudah tidak mendengar apapun, ia tidak mendengar jeritan Haekhal yang tertahan, ia tidak mendengar teriakan Danu dan Yudhis.

Dengan sisa tenaganya, Marcell kembali menarik pelatuk pistol dan tepat mengenai dada Kevin, membuat Kevin kembali jatuh.

Kevin sudah terjatuh dengan darah yang keluar dari bahu dan perutnya. Kevin tidak sadarkan diri.

Ikatan pada tubuh Haekhal sudah Danu lepaskan. Haekhal berlari menuju Marcell yang sedang diambang kesadaran. Haekhal menggantikan Yudhis yang sedang memegangi perut Marcell untuk menahan darah yang keluar.

Tangan gemetar Marcell meraih tangan Haekhal yang sudah berlumuran darahnya, Marcell tersenyum menatap Haekhal.

“Terimakasih..... Sudah..... Berjuang..... Haekhal....” Itulah kata terakhir Marcell sebelum ia tidak sadarkan diri.

“ABAAAANGGGG.”

Haekhal berteriak memanggil Marcell.

Marcell dibawa oleh petugas kesehatan untuk dibawa ke rumah sakit.

Haekhal masih menangis dengan posisi tidak berubah, ia masih terduduk dengan tangan yang berlumuran darah Marcell.

Yudhis mendekati Haekhal, ia menepuk bahu Haekhal.

“Marcell terluka demi anda. Jangan menangis dan putus asa, Marcell anak yang kuat. Ayo ke rumah sakit dan berdoa untuk Marcell.”

Badan Haekhal bergetar itu akibat dari ketakutannya.

Danu menghampiri Yudhis dan Haekhal.

“Saudara Haekhal? Anda diminta untuk menjadi saksi dikantor polisi. Mari ikut saya kekantor polisi.”

Haekhal perlahan berdiri dibantu oleh polisi disana. Kakinya sangat lemas sehingga ia jalan harus dituntun oleh dua polisi.

© brownieszt

Haekhal, Najello, Jeanno, Raffa, Jevander dan juga Zaxier sudah berada di Bandara.

Haekhal celingak-celinguk mencari keberadaan Marcell. Marcell terbang jam 11, jam setengah 11 belum terbang kan? Haekhal sedikit frustasi karena ia tidak ketemu dengan Marcell.

“Bang, itu kayak Bang Marcell bukan sih?” Jevander menunjuk seseorang dengan kemeja orange dan celana panjang hitam sedang duduk menunduk.

Haekhal tersenyum karena orang dicarinya pun ketemu. “Lo pada tunggu disini dulu, ya.” Yang diajak bicara pun mengangguk.

Haekhal berjalan menuju Marcell yang sedang duduk. Saat sudah sampai dibelakang Marcell, ia langsung memeluk Marcell dengan sangat erat.

“Abang, sendirian aja nih.” Haekhal terkekeh lalu duduk disebelah Marcell. Marcell tentu saja kaget akan kedatangan Haekhal yang sangat tiba-tiba itu. “Haekhal? Kok kamu bisa sampai sini? Sama siapa?” Marcell bercelingukan mencari orang yang dibawa Haekhal, namun nihil ia tidak melihat orang yang dikenalnya.

“Surpriseeeee.” Haekhal kembali memeluk Marcell dengan sangat erat.

“Abang, sedih banget ya gue gabisa datang? Kok lo kemarin bohong kalau lo gapapa?”

Marcell menangkup pipi Haekhal, ia tatap mata dan juga bibir indah milik Haekhal, “Saya tidak mau membebani kamu, Haekhal.” Lalu lengannya kena pukul Haekhal, “Beban apa sih Bang! Lo polisi bukan beban. Gue ini yang beban.”

Keduanya pun tertawa bersama.

Haekhal mengajak Marcell berdiri, ia memeluk Marcell dan menggoyangkan tubuhnya kekanan juga kekiri, seperti berdansa. “Abang, jaga diri ya disana, hati-hati. Jangan lupa balik lagi ke gue, gue tungguin disini kapanpun lo mau pulang, Bang.”

“Saya bisa apa tanpa kamu, Haekhal. Kesepian sekali saya tanpa Matahari saya.”

“Gausah lebay, disana masih ada Ibu dan Cia.”

Marcell melepaskan pelukannya, ia menangkup pipi Haekhal. Haekhal tau jika ia ingin dicium oleh Marcell pun lantas memejamkan matanya, Marcell terkekeh melihat Haekhal yang sedang memejamkan matanya, “Kamu ngapain?” Haekhal langsung membuka matanya dan mengerjapkan matanya menatap Marcell, sungguh, ia sangat malu. Tolong bawa Haekhal menghilang dari sini

Haekhal memajukan bibirnya, “Kirain mau cium. Yakali gak cium Bang.” Marcell pun tertawa dengan terbahak-bahak melihat tingkah menggemaskan dari Haekhal.

Marcell menangkup pipi Haekhal, ia mengecup bibir Haekhal sekilas tetapi ciuman itu ditahan oleh Haekhal. Haekhal melumat bibir Marcell. Keduanya memejamkan matanya menikmati sesepan demi sesepan. Keduanya tidak peduli dengan pandangan orang yang berlalu lalang menatap mereka aneh karena berciuman di bandara. Keduanya tidak peduli dengan bisikan-bisikan orang-orang padanya.

Marcell melepaskan ciumannya karena menerima pukulan dari Haekhal tanda bahwa Haekhal telah kehabisan nafas. Marcell dan Haekhal membuka matanya, saling menatap satu sama lain, dengan tatapan itu keduanya telah jatuh cinta.

“Buset Bro, yakali ciuman di Bandara.” Jeanno menegur Marcell dan juga Haekhal. Marcell tentu saja kaget karena teman-temannya pun ikut andil dalam mengantarkan ia ke bandara.

“Loh bukannya Naje sedang wisudaan?”

Naje memukul bahu besar Marcell, “Percaya banget lu Bang sama gue. Gue masih skripsian.”

“Terima kasih ya sudah datang jauh-jauh, padahal tidak apa-apa kalau tidak datang.”

“Gapapa apanya lo aja duduk disini udah kayak orang putus asa.” Haekhal tidak terima dengan kata tidak apa-apa yang dilontarkan oleh Marcell.

Marcell tersenyum lalu mengelus bahu Haekhal.

“Lanjutin dah ciumannya, kita duduk sini.” Raffa telah duduk dibangku ruang tunggu dan teman-temannya pun mengikuti Raffa duduk.

“Masih ada waktu 20 menit, sana ciuman.” Jevander mendorong Marcell agar lebih dekat pada Haekhal.

Marcell dan Haekhal saling menatap canggung. Keduanya menatap teman-temannya yang menatapnya seperti mereka adalah tontonan yang sangat seru, tetapi saat keduanya menatap balik teman-temannya, teman-temannya itu malah mengalihkan pandangannya seperti tidak ingin ketauan bahwa mereka menunggu acara ciuman Marcell dan juga Haekhal.

Haekhal menarik tengkuk Marcell dan ia mempertemukan kembali bibirnya dengan bibir Marcell. Ia melumat bibir Marcell dengan kasar dan Marcell pun membalas kasar juga ciuman itu. Kepala keduanya bergerak kekanan juga kekiri, Haekhal meremat surai Marcell dan mendorongnya untuk memperdalam ciumannya. Kecipak basah itu pun terdengar kotor karena ulah kedua bibir yang sedang berperang.

Ciuman mereka terpaksa berhenti karena Marcell harus terbang.

Marcell sudah menarik koper itu menjauh dari Haekhal dan teman-temannya.

Haekhal tiba-tiba menjadi sedih karena ia kembali disadarkan oleh kenyataan bahwa Marcell harus meninggalkannya sendiri di Ibu Kota ini.

Haekhal berlari menyusul Marcell lalu memeluknya dengan sangat erat, “Abangggg.” Tanpa sadar Haekhal menangis dan membuat Marcell khawatir.

Marcell mengusap air mata Haekhal, “Saya pasti akan kembali, pegang janji saya, Haekhal.” Marcell mengenggam tangan dingin Haekhal. Marcell tersenyum.

Teman-temannya itu pun mendekati Marcell juga Haekhal. Teman-temannya itu ikut bergabung dalam pelukan Haekhal juga Marcell.

“Bang hati-hati, jangan lupa kabar-kabarin kita.”

“Bang, jangan khawatir kita akan jagain Bang Haekhal.”

“Bang kita pasti kangen lo.”

Itulah pesan dari Naje, Raffa dan juga Zaxier. Sedangkan Jeanno dan Jevander tidak dapat berbicara, keduanya hanya menepuk bahu Marcell, hanya itu yang bisa keduanya lakukan.

Marcell tersenyum, “Terima kasih semuanya. Kalian jaga diri disini, ya.”

Marcell kembali menarik koper besar itu menjauh dari teman-temannya.

Haekhal, Jeanno, Raffa, Naje, Jevander dan juga Zaxier itu melambaikan tangannya, melepaskan temannya itu untuk pulang.

Marcell sudah masuk dalam pesawat.

Naje menepuk bahu Haekhal untuk sekedar menguatkan Haekhal.

“Balik lagi dia, Bang. Kita nonton aja yuk.” Hibur Zaxier, Haekhal suka sekali menonton, itulah salah satunya cara agar dapat mengembalikan mood Haekhal.

Haekhal tersenyum tipis menatap pesawat yang perlahan sudah mulai mengudara, dadanya berdebar kuat, takut jika semesta tidak mengizinkan Marcell kembali padanya.

© brownieszt

Harenza menuntun Calio sang buah hati menuju ruangan Meldrick—suaminya, dikarenakan katanya Meldrick ini sakit.

Harenza membuka pintu ruangan Meldrick dan mendapatkan Meldrick yang duduk dikursi kerjanya dan memainkan Handphone.

“Pura-pura sakit kan lo.” Harenza menutup telinga Calio—dikarenakan ia ingin berkata kasar pada suaminya yang menyebalkan ini. “Capek gue dari playground yang jaraknya lumayan dari sini. Gatau-nya lo pura-pura.” Meldrick turun dari kursinya dan menghampiri Harenza yang masih stuck berdiri dan menutup telinga anaknya.

Meldrick membuka tangan Harenza pada telinga Calio, “Kakak mau main sama Aunty Rizka dulu gak?” Calio yang ditanya pun mengangguk semangat. Meldrick menggandeng Calio dan mengantarkan Calio pada ruangan Rizka—sekretarisnya.

Meldrick membuka pintu ruangan Rizka, “Rizka, saya titip Calio dulu, ya. Tinggalkan saja kerjaanmu, ajak Calio bermain. Sekalian belajar momong anak.” Rizka menatap Calio dan ia langsung tersenyum gemas.

“Siap Pak! Laksanakan.” Rizka mendekap Calio. “Papah mau ngobrol dulu ya sama Yayah, Kakak sama Aunty dulu, oke jagoan?” Calio mengangguk semangat, “Papah gaboleh buat Yayah sakit lagi, ya! Nanti Kakak pukul kalau buat Yayah sakit!” Meldrick terkekeh karena mendapatkan omelan anaknya. “Siap Jagoan!” Meldrick menempatkan lima jarinya didahi seperti hormat.


Meldrick membuka pintu ruangannya dan mendapatkan Harenza yang sedang rebahan disofa dengan tangan kanan yang sibuk bermain Handphone dan tangan kirinya yang sibuk mengelus perutnya yang besar.

“Ayaaaanggggg.” Harenza menatap Meldrick, “Apa?” Balasan jutek pada Meldrick karena ia berani-beraninya menipu Harenza.

Meldrick duduk disebelah Harenza, ia menatap wajah Harenza dan memajukan bibirnya, “Gue bener sakit tau, nih coba pegang kening gue.” Tangan Harenza ia dekatkan pada keningnya. Dan keningnya mendapatkan pukulan dari Harenza.

“Aduh sakit, Ayang!”

Harenza mencubit seluruh tubuh Meldrick dan berhasil membuat Meldrick meraung.

“Sakit Ayang!”

“Nyebelin, Anjing.”

Meldrick mendekap tubuh Harenza, ia eratkan pelukannya. “Maaaaaaaff. Gue kangen habisnya.” Meldrick mengecupi leher Harenza berkali-kali.

Meldrick melepaskan pelukannya dan menangkup wajah Harenza yang terlihat bete, Meldrick mengecup bibir Harenza, “Maaf.” Kemudian ia kecup lagi bibir manis itu, dan mengucapkan maaf, begitu terus sampai membuat Harenza jengah. “Diam bisa gak.” Meldrick menggelengkan kepalanya, “Mau cium.” Meldrick memajukan bibirnya.

Harenza yang melihat tingkah gemas suaminya itu lantas tertawa, ia sudah menahan kekehannya sejak tadi,

“Meldrick apaansih. Lucu banget lu kayak badut.”

“Ayaang ih.” Meldrick tetap memajukan bibirnya dan langsung bibirnya dicubit oleh Harenza, “Gemes banget tai.”

“Cium! Mau cium!” Harenza berdiri dari duduknya. Tetapi tidak lama ia langsung mengambil posisi duduk dipangkuan Meldrick. Harenza melingkarkan tangannya dileher Meldrick, ia dekatkan bibirnya pada bibir suaminya.

Ciuman itu cukup panas sehingga membuat mereka terengah-engah. Ciuman Meldrick turun ke leher Harenza. Harenza menerima semua perlakuan Meldrick. Harenza mengelus rambut Meldrick dan bibirnya tidak berhenti untuk mengeluarkan lenguhan manja karena Meldrick menghisap lehernya.

“Mel lagi dikantor ini. Jangan ngadi-ngadi.” Meldrick menghentikan hisapannya.

“Gapapa, aman kok. Kakak sama Rizka. Kantor lagi dipegang sama Jendra, jadi gak bakal ada yang bolak balik ruangan gue.” Harenza memukul bahu Meldrick pelan, “Enggak! Ngaco banget.”

Meldrick memajukan bibirnya.

“Mau! Mau ayang! Ayo, yaaaa.”

“Enggak. Nanti dirumah aja.”

“Yaudah nen aja.” Meldrick membuka satu kancing baju Harenza tanpa izin Harenza.

“Enggak anjir! Pasang lagi gak!” Meldrick kembali memajukan bibirnya, ia menyembunyikan wajahnya didada Harenza.

“AKHHH! MELDRICK!” Meldrick tertawa terbahak-bahak menatap wajah kesakitan Harenza, dada Harenza digigit kencang oleh Meldrick.

“Anjing lo.”

“Lagian, mau nen aja dilarang-larang. Boleh yaaa, sebentar ajaaa.”

Harenza diam lalu, “Oke, sebentar aja. Gak pake lama.” Senyum diwajah Meldrick merekah lebar.

Meldrick membuka 3 kancing baju Harenza dan langsung disambut oleh puting tegang Harenza. Meldrick mengecup puting Harenza berkali-kali dan langsung ia meraup puting Harenza dan menghisapnya seolah bayi yang sedang haus. Harenza membusungkan dadanya—seperti menyerahkan dadanya itu kepada suaminya. Harenza menggigit bibirnya untuk menahan desahannya.

“Mel... Santai aja, santai.” Harenza terengah karena Meldrick menghisap putingnya dengan tidak santai seakan-akan dadanya itu mengeluarkan susu yang nikmat.

Puting kiri Harenza tidak dibiarkan saja, puting kirinya Meldrick cubit dan pelintir dan menghasilkan lenguhan dari bibir Harenza.

Harenza melenguh manja akibat kedua putingnya dikerjai oleh suaminya.

Pintu ruangan Meldrick terbuka— “Bang, Calio nang–” Jendra yang melihat pandangan dewasa itu langsung membawa kembali Calio keluar.

Meldrick dan Harenza kaget akan kejadian tiba-tiba itu.

Meldrick menghentikan acara hisapannya. Harenza langsung berdiri dari duduknya dan mengancingkan kembali bajunya.

Harenza menghampiri Jendra—sang adik ipar dan anaknya yang berada didekapan Jendra.

“Aduh aduh, Kakak kenapa nangis? Siapa nakal hm?” Harenza mengambil alih dekapan Calio dari Jendra.

“Kangen Yayah!” Harenza yang mendengarnya langsung tertawa pelan.

“Dasar anak Yayah! Masa ditinggal sebentar doang nangis wuuu.” Meldrick meledeki anaknya dan membuat anaknya itu menangis.

“Gausah didengerin Papahnya, Kak. Diemin aja diemin.” Harenza menghapus air mata Calio.

“Kunci pintu Bang jangan lupa. Bonus itu buat anak lo dikasih unjuk gimana dia dibuat.” Harenza langsung menutup telinga Calio.

“Pergi lo anjing!” Harenza melayangkan tendangannya yang tidak kena itu kepada Jendra. Jendra yang mendapatkan itu hanya tertawa dengan terbahak-bahak.

Jendra berlari meninggalkan keluarga Abangnya itu.

Harenza mengecup pipi Calio, “Kakak mau pulang?” Calio pun mengangguk, sepertinya anaknya ini lelah.

“Papah mau pulang bareng atau disini?”

“Pulang bareng, ayo.”

— fin.

Written by brownieszt

TW // cheating , toxic parent. CW // kissing , kinda mature.

“Haekhal...” Marcell memasuki kamar, ia melihat Haekhal yang sedang menonton film.

“Udah pulang? Bersih-bersih dulu sana.” Haekhal tidak beranjak dari posisinya sekarang, ia tetap tiduran dan menonton. Marcell mendekati Haekhal lalu mengusap kepala Haekhal pelan, “Nontonnya jangan dekat-dekat, Haekhal, nanti matanya sakit.” Saat Haekhal benarkan posisi tidurnya, Marcell tersenyum lalu langsung berjalan menuju kamar mandi untuk bersih-bersih.


Marcell sudah selesai mandi, ia memakai kaos hitam dengan celana pendek.

“Abang, sini.” Haekhal meminta Marcell untuk tiduran disebelahnya. Marcell menghampiri Haekhal dan merebahkan dirinya disebelah Haekhal.

Keduanya saling bertaut dengan pelukan. “Abang mau cerita?” Lalu Marcell mengangguk.

“Begini, Haekhal. Saya sebenarnya bingung ingin mulai ceritanya bagaimana, kalau saya cerita saya seperti membuka luka yang sudah kering.” Haekhal mendongak menatap wajah Marcell yang segar karena baru saja mandi.

“Kalau gamau cerita, gapapa Bang.” Marcell tersenyum lalu menggelengkan kepalanya.

“Saya akan cerita semuanya,” Marcell menarik nafasnya dalam-dalam.

“Saya anak tunggal. Ah, tidak juga sih, saya mempunyai adik perempuan, tetapi bukan kandung melainkan adik tiri saya. Ibu saya dulu pernah menikah lagi sejak ditinggal oleh Ayah saya menikah.” Marcell terdiam, sesak menyerang dadanya.

“Ayah saya selingkuh, lalu selingkuhannya hamil dan Ayah saya bertanggung jawab dengan menikahinya. Ayah saya meninggalkan Ibu dan saya pada saat saya masih kecil, dulu saya masih berusia 10 tahun. Saya dan Ibu saya mati-matian untuk bertahan didunia yang sangat jahat ini. Lalu tidak lama Ibu saya menikah lagi dengan sahabatnya dan mempunyai 1 anak perempuan.

Dulu saya saat usia 10 tahun terpaksa harus putus sekolah dan memilih untuk bekerja karena saya tidak mau melihat ibu saya bekerja. Ayah saya menghilang entah kemana, saya tidak dapat kabar lagi dari beliau, mungkin beliau sudah bahagia dengan keluarganya, saya harap seperti itu. Ayah tiri saya sangat baik, beliau yang menghidupkan saya dan Ibu saya. Saya disekolahkan oleh beliau, sosok seorang Ayah yang sudah lama tidak saya dapatkan, saya kembali dapatkan dari beliau.

Tetapi orang baik itu tidak bertahan lama ya, Haekhal? Ayah tiri saya meninggal 7 tahun lalu. Kamu mau tau kan kenapa saya memilih menjadi polisi? Alasannya karena beliau, Ayah tiri saya. Ayah tiri saya dulu adalah seorang Jenderal Polisi. Beliau yang membuat saya sekarang menjadi seperti ini.”

Tanpa sadar Marcell meneteskan air matanya walau saat ini ia tersenyum saat menceritakan kehidupannya yang sangat menyakitkan baginya. Haekhal memeluk Marcell dengan sangat erat, ia menepuk punggung Marcell. Ia sangat bingung ingin bereaksi seperti apa, karena sangat kaget dengan cerita dibalik seorang Marcello Artarendra.

“Abang... Lo ada kangen gak sama Ayah kandung lo?”

Marcell tersenyum tipis lalu menyeka air matanya, “Jelas saja, tidak, Haekhal. Saya bahkan tidak ingin bertemu lagi dengan beliau, beliau adalah manusia paling jahat yang pernah hidup dalam kehidupan saya. Banyak sekali orang yang melarang saya membenci beliau bahkan Ibu saya melarang saya membenci beliau. Tetapi saya tidak akan pernah bisa melupakan kejahatan dan luka yang pernah ia tinggal pada saya dan Ibu saya. Haekhal, tidak apa-apa kan kalau saya benci Ayah kandung saya sendiri?”

Haekhal mengelus bahu besar Marcell, lalu ia menatap mata merah Marcell. “Lo pernah bilang ke gue kalau gue harus memaafkan semua orang yang pernah nyakitin gue, kalau gue berhasil maafin mereka pasti gue merasa damai. Lo juga harus seperti itu Bang.”

“Saya sudah berusaha memaafkan beliau, tetapi tidak bisa, Haekhal. Beliau yang sudah menyakiti Ibu saya, beliau yang bikin Ibu saya sedih. Sulit sekali untuk memaafkannya, apalagi mengingat semua yang pernah ia buat pada Ibu saya.”

Haekhal mengeratkan pelukannya pada Marcell, ia mengusap-usap punggung Marcell. Ia menyembunyikan wajahnya didada bidang Marcell, menghirup dalam-dalam wangi segar yang menyeruak dari badannya.

“Lo keren banget, Bang. Lo hebat banget. Abang, terimakasih ya sudah mau bertahan selama ini, terimakasih sudah menjadi orang paling kuat, terimakasih sudah menjadi orang baik. Abang, izinkan gue buat menyembuhkan luka-luka lo.” Marcell tersenyum lalu mengusak rambut Haekhal, “Kamu sudah, Haekhal. Kamu yang selama ini menyembuhkan luka-luka saya, terimakasih, ya.” Haekhal menyembunyikan wajahnya yang memerah didada Marcell.

“Haekhal...” Yang dipanggil pun mendongak. Haekhal mengerjapkan matanya menatap Marcell.

Marcell mendekatkan wajahnya dengan wajah Haekhal. Ia mencuri kecupan dibibir Haekhal, ciumannya cukup lama, tidak ia lumat dan ia gerakkan, Marcell hanya menyatukan bibirnya dengan bibir Haekhal. Lalu Marcell sadar, ia langsung menjauhkan wajahnya, ia salah tingkah pun juga Haekhal.

“Maaf, Haekhal. Maaf saya lancang, maaf, maaf sekali.”

“Bang...”

Haekhal menangkup pipi Marcell, lalu ia menyatukan bibirnya dengan bibir Marcell, persis seperti yang tadi Marcell lakukan. Haekhal perlahan melumat bibir Marcell, ia sesap bibir bawah Marcell. Marcell yang menerima itu langsung mengambil alih ciumannya. Keduanya memejamkan mata dan menikmati sesapan dan lumatan yang sedang keduanya lakukan.

Marcell meremas pinggang Haekhal untuk melampiaskan nikmatnya sedangkan Haekhal meremas rambut Marcell dan mendorongnya untuk memperdalam ciumannya.

Ciuman mereka cukup lama. Saat nafas keduanya terengah, keduanya lantas melepaskan ciumannya. Marcell menatap wajah Haekhal yang dengan rakus menghirup nafas. Marcell kembali mencium bibir Haekhal lalu ciumannya turun ke leher Haekhal. Marcell mengecupi leher wangi Haekhal, ia menyesap leher Haekhal membuat sang pemilik leher mendongakkan kepalanya dan mendorong kepala Marcell seakan menyerahkan lehernya pada Marcell.

Marcell kembali sadar, ia langsung menjauhkan wajahnya dari leher Haekhal. Ia menatap wajah Haekhal.

“Haekhal maaf, maafkan saya. Saya lancang sekali, maaf.”

“Bang, lakukan lebih, please.”

Marcell mengusap kepala Haekhal, “Saya tidak mau menyakiti kamu, Haekhal.”

“Tapi gue suka, Bang.”

Marcell lalu tertawa dengan terbahak-bahak. Bahu Marcell terkena pukulan Haekhal karena menertawakannya.

“Nanti ya, kalau kamu sudah dewasa.”

“Enak aja! Gue udah dewasa ya! Gue udah 23 tahun! Gila nih polisi gadungan, dikata gue 15 tahun apa ya.”

“Loh bukannya kamu masih 10 tahun?” Pertanyaan itu langsung dihadiahkan cubitan pada perut Marcell. “Aduh sakit, Haekhal!” Lalu ia kembali tertawa saat melihat wajah sebal Haekhal.

“Sudah-sudah, mending kita tidur saja. Sudah dong jangan cemberut seperti itu.” Marcell mengeratkan pelukannya pada Haekhal. Haekhal tersenyum walau tidak dilihat Marcell.

Haekhal bahagia saat bersama Marcell.

“Selamat malam, Haekhal.”

“Selamat malam, Abang.”

Written by brownieszt

Haekhal sudah merebahkan dirinya diranjang pertama—tempat ia biasa tidur.

“Haekhal, sebentar dulu ya, saya ingin ke-toilet dulu.” Haekhal hanya mengangguk acuh, sungguh ia sangat tidak peduli.

Haekhal terdiam dalam tidurnya, ia masih terjaga. Kepalanya sangat berisik, hatinya entah mengapa sangat sesak. Haekhal sangat resah karena malam ini sang Ayah sedang dalam operasi, ia gelisah sejak tadi membuat ia tidak dapat makan dengan tenang dan melakukan aktivitas dengan tenang.

Tanpa sadar air mata Haekhal mengalir bebas diujung matanya, ia menangis, ia mengeluarkan seluruh emosinya yang sudah ia tahan. Marcell sudah keluar dari toilet, ia melihat badan Haekhal yang bergetar. Marcell memegang bahu Haekhal, membuat Haekhal dengan sigap menyeka air matanya.

Haekhal tersenyum tipis, “Lo orang pertama yang ada dirumah ini ngeliat gue nangis. Hebat juga lo.” Haekhal terkekeh pelan, tetapi tidak membuat air matanya berhenti mengalir.

Marcell merebahkan dirinya disebelah Haekhal, tangannya sejak tadi mengusap punggung Haekhal yang bergetar, ia tidak menganggu Haekhal yang sedang menangis putus asa.

Tangan Haekhal melingkar dipinggang Marcell, membuat tubuh mereka bertaut. Degup jantung keduanya sangat berisik.

“Apa yang sedang mengusik mu, Haekhal?” Setelah dirasa Haekhal tenang, dengan sopan Marcell bertanya.

“Dunia itu emang jahat banget, ya?” Pertanyaan dilemparkan dari Haekhal, pertanyaan itu selalu menganggu Haekhal. Marcell mengangguk, “Memang. Dunia memang jahat tetapi saya tidak, Khal.” Haekhal mendongak menatap mata Marcell, mata yang sangat tulus. Haekhal terkekeh pelan.

“Iya Bang iya. Lo emang paling baik dah.”

“Haekhal, walau dunia jahat sama kamu tetapi banyak orang yang baik—”

“Iya, lo kan salah satunya?” Haekhal memotong pembicaraan Marcell, membuat Marcell terkekeh.

“Saya mungkin tidak tau masalahmu dan jika tau saya belum tentu dapat membantu kamu. Tapi saya dapat membantu dengan ini—pelukan hangat yang kapan saja kamu butuhkan.” Marcell mengeratkan pelukannya.

“Lo pelukable banget, Bang. Gue suka.” Haekhal memejamkan matanya, menikmati kehangatan yang didapatkan dalam pelukannya.

“Syukurlah kalau kamu suka.” Marcell mengusap punggung Haekhal, membuat Haekhal tenang.

“Udah berapa orang yang lo giniin, Bang?” Marcell yang mendengarnya lantas tertawa.

“Bahasamu jelek sekali, Khal. Baru kamu kok, baru kamu yang saya peluk seperti ini.” Haekhal yang mendengarnya hanya berdecih, percaya tidak percaya sih.

“Boleh nggak gue minta peluk kapanpun gue butuh?”

“Boleh, Haekhal. Kapanpun kamu butuh, bilang saja.”

“Kalau setiap hari? Kayaknya gue butuh setiap hari.” Pertanyaan itu terlontar dari mulut Haekhal begitu saja membuat keduanya membisu. Marcell mengangguk, “Boleh dong.” Haekhal tertawa lepas.

“Bercanda aja lo.”

“Saya serius, Haekhal. Kalau kamu butuhnya setiap hari, tidak apa-apa.” Haekhal membeku.

“Ayo tidur, sudah malam.” Marcell memejamkan matanya tetapi tidak dengan Haekhal yang masih terdiam—ia terus menatap wajah ganteng Marcell yang sepertinya sudah mulai terlelap dalam tidurnya. Haekhal menatap mata, hidung, bibir Marcell yang bisa dibilang sangat sempurna. Tanpa sadar Haekhal tersenyum saat menatap wajah sempurna yang berada didepannya.

Haekhal perlahan memejamkan matanya menyusul Marcell menjahit benang mimpi.

Written by brownieszt

Meldrick berlari dari depan rumah sakit dengan dada yang bergemuruh, sedih sekali, itu yang Meldrick rasakan saat ini. Ia kecewa, ia sedih.

Saat sudah dilantai tiga rumah sakit, Meldrick membuka kamar inap rumah sakit, melihat Harenza; suaminya yang sedang berbaring dengan tangan diinfus dan perut yang masih membesar, ia perlahan mendekati Harenza. Saat Meldrick menatap Harenza, suaminya ini langsung menangis dengan tersedu-sedu, ia dan suaminya sedang berusaha melepaskan anaknya yang sudah ditunggu-tunggu.

Meldrick memeluk Harenza, ia usap punggung Harenza, ia hanya terdiam tidak mengucap sepatah katapun, tidak menyuruh Harenza untuk berhenti menangis karena saat ini Harenza butuh menangis untuk melampiaskan emosinya.

“Kita kehilangan Adek, Mel. Maaf.” Badan Harenza bergetar didalam pelukan Meldrick, Meldrick menyeka air mata Harenza, ia tersenyum lebar padahal jelas saja senyuman itu bohong, ia sebenarnya menangis tetapi tidak ia tunjukan saja. Meldrick mengusap pipi Harenza, “Gue gasuka lo minta maaf terus, Sayang. Bukan salah lo. Berarti kita sedang diajarkan meng-ikhlaskan kepergian.” Meldrick kembali memeluk badan bergetar suaminya.

“Lo pasti kecewa banget, ya?”

“Iya. Tapi pasti lo lebih kecewa, kan?” Harenza mengangguk lemah, ia sudah tidak punya lagi energi dalam tubuhnya. Energinya habis, terkuras.

Meldrick mengambil tangan Harenza, lalu ia kecup berkali-kali untuk menenangkan suaminya, “Gapapa, Sayang, gapapa. Pasti nanti dikasih lagi sama Tuhan, ikhlasin, ya.” Meldrick tidak bosan bilang 'gapapa' pada Harenza.

Tidak lama ada seorang Suster yang masuk dalam ruangan itu.

“Wali dari bapak Harenza, ya?”

“Iya, saya suaminya, Sus.” Meldrick mendekati Suster tersebut.

“Bapak silahkan ke-administrasi, ya, tanda tangani surat izin operasi bapak Harenza.”

“Baik, Sus, nanti saya kesana. Terimakasih, Sus.”

Suster itupun tersenyum lalu kembali keluar dari ruangan.

Meldrick kembali memfokuskan dirinya kepada suaminya, wajah sayu itu membuat hati Meldrick sangat sakit, ia menatap wajah Harenza lalu keperutnya, ia tidak menyangka jika anaknya itu tidak ada lagi.

“Sayang, gue keluar dulu, ya?” Harenza mengangguk lemah.

Meldrick mengecup kening lalu kedua pipi dan tidak ketinggalan bibir manis Harenza, “Sebentar doang.”

Meldrick keluar dari ruangan, meninggalkan Harenza yang masih merasakan kehilangan.

Meldrick tidak benar-benar langsung ke administrasi, ia duduk dulu dibangku depan kamar inap, ia menundukkan kepalanya, badannya jelas saja terlihat gemetar hebat, ia menangis, ia mengeluarkan emosi yang ia susah-susah tahan saat bersama suaminya, ia tidak mau menunjukan kesedihannya didepan Harenza, ia tidak mau membuat Harenza semakin sedih. Jadi kini Meldrick meluapkan tangisnya sendiri, menunduk, entah ada berapa tetesan air mata yang mengalir dari matanya.

Meldrick masih saja menangis, bahu dan badannya bergetar hebat, ia menangis sendiri, tidak peduli orang lewat yang menatapnya, entah mereka menatap Meldrick dengan heran atau dengan rasa iba.

Saat dirasa sudah tenang, Meldrick menegakkan badannya, ia menyeka air matanya. Mengatur nafasnya.


Meldrick baru saja selesai tanda tangan, ia kembali masuk kedalam ruangan Harenza. Ia menatap sedih Harenza, air mukanya yang sedih, tidak seceria hari biasanya. Meldrick tau betul hari ini adalah hari terberatnya juga suaminya.

“Sayang. Liat, gue bawa cupcake enak nih, sama es krim kesukaan lo. Yuk makan yuk.” Meldrick mendekati Harenza dengan membawa tentengan yang sangat banyak tidak lupa senyuman gantengnya, Harenza duduk dibantu oleh Meldrick.

Harenza melihat wajah Meldrick, yang terlihat tenang seperti tidak terjadi apa-apa.

“Mel, kok bisa sih?” Meldrick yang tadi sibuk membuka satu satu plastik yang ia bawa, kini menatap Harenza heran.

“Bisa apa?”

“Bisa sekuat ini, kok bisa sih?”

Meldrick tersenyum tenang, ia mengecup pipi Harenza.

“Karena lo, kalau gaada lo gue gabisa sekuat ini, Za.”

Meldrick menyuapkan cupcake manis kepada suaminya.

“Lo hebat, Za. Gue sayang banget sama lo, apapun yang terjadi ayo lebih kuat lagi untuk kedepannya.”

Harenza mengangguk lemah, ia senyum dengan tetesan air mata yang mengalir disudut matanya.

— fin.

Written by brownieszt

Matahari sudah menaik, mengintip membuat sepasang suami ini mulai terganggu. Harenza terbangun dari tidurnya, ia langsung terduduk tak lama ia meringis memegangi perut bagian bawahnya.

Harenza membangunkan Meldrick. Meldrick menyipitkan matanya, ia masih sangat mengantuk, “Kenapa, Sayang?” Dengan suara serak khas orang bangun tidur. “Mel, perut gue sakit banget, tolong.” Harenza meremas tangan Meldrick, Meldrick langsung terduduk, memegangi perut Harenza.

“Sakit banget?” Tanya Meldrick panik karena melihat air muka Harenza yang sangat sakit, tangannya ia biarkan diremas kuat-kuat oleh Harenza sebagai pelampiasan sakit diperutnya. “Kerumah sakit ya? Yuk, gue siapin mobil dulu.” Harenza menggeleng ribut, “Enggak, gausah. Ini cuma kontraksi palsu. Gue bisa tahan.”

Meldrick membuka internet, mencari 'cara mengatasi kontraksi palsu'. “Duh gue lupa banget lagi lo pernah kontraksi palsu gak pas hamil kakak. Oh ini, Sayang, coba minum air putih dulu.” Meldrick berdiri, menyodorkan air putih kepada Harenza yang masih saja meringis.

Pintu kamar terbuka, menampilkan sosok anak kecil, “Kakak kenapa?” Calio tidak menjawab ia hanya mendekati Meldrick lalu merentangkan tangannya—ia meminta untuk didekap, Meldrick lantas mendekap tubuh mungil Calio. Calio menangis dalam dekapan Meldrick, membuat sang Papah dan sang Ayah nya sangat panik.

Harenza melihat sang anak menangis dalam dekapan sang suami, ia langsung terduduk, tidak peduli dengan sakit luar biasa yang menyerang perutnya, “Kakak kenapa?” Harenza melemparkan pertanyaan kepada sang anak yang masih saja tersedu-sedu dalam dada Meldrick.

“Yayah tiduran aja, lurusin kakinya.” Pinta Meldrick kepada Harenza, ia tau bahwa Harenza masih merasakan sakit pada perutnya, Harenza mengelus perutnya dengan lembut, ia mengatur nafasnya, berusaha mengurangi nyeri pada perutnya.

Calio sudah berhenti dari nangisnya, saat ini Calio sudah terduduk dipangkuan Meldrick, Meldrick sejak tadi mengusap dada Calio agar anaknya ini dapat tenang, “Udah lega belum?” Meldrick bertanya dengan tenang, Calio mengangguk pelan, “Mau cerita ke Papah gak kenapa kakak nangis?” Meldrick tidak berhenti mengusap dada Calio.

“Mimpinya serem, kakak takut, kakak gamau bobo sendiri lagi! Takut, Papah, kakak takut banget.” Oh anak ini habis mengalami mimpi buruk Meldrick langsung mendekap anaknya dengan sangat erat, bertujuan agar sang anak dapat tenang.

“Kan cuma mimpi, Kak. Gak benar-benar terjadi.” Harenza menenangkan Calio.

“Tapi Kakak takut, Yah! Serem banget, Kakak gamau bobo sendiri!”

Harenza merentangkan tangannya, ia mengambil Calio dari dekapan suaminya, Calio duduk dipangkuan Harenza, “Kakak kan mau masuk sekolah besok, ya? Kalau mau masuk sekolah harus bobo sendiri, nanti kalau ditanyain sama bu gurunya Kakak bobo sama siapa trus kakak jawab bobo sama Papah dan Yayah trus diketawain sama temen-temen, kakak malu gak?” Harenza berusaha agar anaknya ini dapat mandiri, walau usia anaknya masih kecil tetapi ia usahakan dari kecil anaknya ini dapat mandiri seperti tidur sendiri dan anaknya ini sedang diajarkan makan sendiri.

Calio menggeleng ribut, tetapi wajahnya tidak dapat berbohong, ia sangat ketakutan, entah mimpi apa yang sudah ia alami hingga ia sangat ketakutan seperti ini, “Yasudah nanti malam Kakak bobo sama Yayah dan Papah.” Calio mengangguk lalu kembali memeluk sang Ayah.

“Emang Kakak mimpi seram apasih sampai Kakak takut gitu?” Meldrick bertanya kepada sang anak, ia sangat penasaran.

“Kakak dikejar-kejar sama monster biru besar sekali,” Calio membuka tangannya menunjukan seberapa besar 'monster' itu, “Monsternya kejar-kejar Kakak sampai Kakak terpisah sama Papah dan Yayah, Kakak cari Yayah, Kakak cari Papah, tapi gak ada! Kakak takut, Kakak terus lari tapi malah ketemu monster itu terus!” Anak kecil itu bercerita dengan wajah yang sangat menggemaskan, Meldrick lantas tertawa sangat kencang, membuat sang anak jengkel.

“Papah! Kenapa tertawa? Kakak takut! Ih Papah jahat sekali.”

“Kakak kebanyakan nonton monster inc itu, lucu banget sih Kakak!” Ujar sang Papah membuat Calio sangat jengkel. Harenza mengecupi pipi gembul sang anak berusaha untuk meredakan jengkelnya, tetapi anak itu mengerucutkan bibirnya, ia masih jengkel dengan sang Papah karena menertawakan mimpinya, “Yayah, Papahnya jahat! Kakak gamau sama Papah.” Calio membuang mukanya, ia tidak mau menatap sang Papah, membuat sang Papah kembali tertawa dengan terbahak-bahak.

“Ih ngambek, jelek ih. Papah betul loh, Kakak kan sering nonton monster inc makanya sampai kebawa mimpi gitu, ih awas loh Kak, monster biru besarnya ada dirumah ini loh.” Calio menyembunyikan kepalanya didada Harenza, ia ketakutan, Harenza memukul lengan Meldrick pelan, “Papah ini loh, malah diledekin anaknya.” Harenza terkekeh pelan, ia mengusak rambut Calio.

“Bercanda, Sayang. Sini sama Papah, Yayahnya lagi sakit perutnya.” Meldrick membujuk Calio yang sejak tadi masih memeluk Harenza dengan sangat erat, enggan melepaskan pelukannya.

“Papah jangan takut-takutin Kakak lagi! Kakak gasuka tau, Papah nyebelin!” Meldrick kembali tertawa, sungguh anaknya ini sangat menggemaskan.

“Enggak, iya Papah janji gak nakut-nakutin lagi. Ayo kita nonton monster inc lagi.” Calio sudah didekapan Meldrick, Calio menggeleng ribut, ia tidak mau lagi menonton monster inc, karena takut akan terbawa mimpi lagi, “Kakak mau nonton andy.” Meldrick terkekeh pelan lalu menyetel televisi, mencari kartun Toy Story, kartun kedua kesukaan Calio—setelah monster inc.

Saat ini Calio sudah tiduran sesekali tertawa disaat kartun itu menunjukan tingkah lucu, disebelah kirinya ada Meldrick, disebelah kanannya ada Harenza yang setia menemani sang anak menonton kartun.

“Perutnya udah enakan, belum?” Meldrick melemparkan pertanyaan, “Udah, udah gapapa, tadi cuma kontraksi palsu, wajar terjadi.” Meldrick hanya mengangguk paham.

“Papah gak kerja?” Saat sedang bersama sang anak, Meldrick juga Harenza saling memanggil dengan sebutan yang biasa Calio panggil, bukan dengan nama atau sebutan kasar lainnya, karena tidak baik jika didengar anak kecil.

“Enggak, Papah mau temenin Kakak nonton andy.” Meldrick melemparkan senyuman gantengnya pada sang suami.

“Papah, Yayah, peluk!” Pinta Calio, membuat kedua orangtuanya terkekeh gemas, keduanya lantas memeluk sang anak.

— fin.

Written by brownieszt.

“Mel maaf...” Saat ini Meldrick dan Harenza sedang duduk diatas ranjang dikamar lama Meldrick dirumah orang tuanya. Harenza mengenggam tangan Meldrick sedangkam Meldrick hanya diam dan terus mengeluarkan aura dinginnya, rahangnya mengeras, ia sangat marah dengan suaminya.

“Mel, gue janji besok-besok akan izin walau gue cuma keluar beli makan.” Harenza mengecup tangan Meldrick bertujuan untuk menenenangkan emosi suaminya.

“Za, sebelumnya lo udah tau kan kalau gue akan semarah ini?” Meldrick menatap Harenza dingin, rahangnya masih saja mengeras, ia masih emosi. Kesalahan Harenza kali ini membuat Meldrick sangat marah.

Bagi Harenza masalah ini hanya sepele, hanya kesalahannya yang tidak meminta izin suaminya untuk party bersama sang mantan, sedangkan bagi Meldrick kesalahan ini sangat besar, bukan karena Harenza tidak meminta izin saja, tetapi karena ia sangat takut Harenzanya kenapa-napa, Harenzanya ini sedang hamil dan juga Harenza menelantarkan sang anak demi bertemu sang mantan, keterlaluan sekali.

Harenza mengangguk, “Trus kenapa lo nekat?” Harenza menunduk, ia sangat merasa bersalah dan sangat takut, sebelumnya Meldrick belum pernah semarah ini.

Harenza terus menunduk tanpa sadar air matanya mengalir dan menetes kebawah membasahi lantai. Meldrick sadar jika Harenza menangis. Meldrick menghela nafasnya kasar.

“Besok-besok kayak gini lagi aja, Za. Gausah izin gue, telantarin anak lo, gausah pikirin anak lo yang ada diperut, have fun aja sama mantan.”

Meldrick mendengar isakan Harenza yang semakin kencang.

“Gak denger? Nangis aja, gausah dengerin gue.” Dan betul saja, Harenza menangis tersedu-sedu, ia memeluki tubuh Meldrick, tetapi pelukannya tidak dibalas oleh Meldrick.

“Ngapain nangis? Gue gak butuh tangisan lo, gue cuma butuh penjelasan lo, kenapa lo se-nekat ini? Lagipula tangisan lo gabisa nyelesain masalah, emang semua masalah bisa kelar dengan tangisan?” Tangisan Harenza semakin kencang.

“Gue—takut. Jangan marah—gue janji gak lagi nekat kayak—gini. Mel—maaf.” Suara Harenza terputus-putus karena isakannya.

Meldrick menarik nafasnya dan mengeluarkan kembali, bertujuan untuk membuat emosinya tenang. Meldrick berdecak lalu langsung membalas pelukan Harenza.

“Gue gapernah ngelarang lo untuk ketemu sama siapapun, gue tanya emang gue pernah ngelarang?” Harenza menggeleng dalam pelukannya.

“Jawab.” Harenza mendongak menatap wajah dingin suaminya, “Enggak—nggak pernah larang-larang.”

Meldrick menepuk-nepuk punggung Harenza lalu merapihkan rambut Harenza yang berantakan.

“Jadiin ini yang terakhir. Besok-besok gue gamau ada masalah ini terjadi lagi.”

“Iya, maaf, maafin gue ya, Mel.” Tangisan Harenza sudah mulai tenang, ia dapat menjawab pertanyaan suaminya.

“Gue takut, Mel, jangan diem aja.” Lalu Harenza mengecup bibir Meldrick, membuat Meldrick sedikit luluh.

“Mel....”

Meldrick menarik tengkuk Harenza untuk melumat bibir suaminya, ia sesap lalu ia gigit untuk melampiaskan emosinya, membuat sang pemilik bibir melenguh manja. Meldrick mengangkat tubuh Harenza tanpa melepaskan ciumannya, lalu Harenza saat ini sudah berada dipangkuan Meldrick, mereka berdua saling melumat, saling bertukar saliva, saling menggigit dan saling bertengkar lidah didalam mulut. Harenza meremat rambut Meldrick karena ia sangat frustasi dengan ciuman kasar dan penuh emosi yang Meldrick dan ia lakukan saat ini.

Ciuman Meldrick sudah merambat dileher Harenza, ia menyesap leher Harenza, ia hirup dalam-dalam wangi manis vanilla dari leher Harenza. Meldrick sengaja menggigit leher Harenza, membuat Harenza mendongak dan melenguh hebat. Meldrick menghentikan acara menyesap leher Harenza, ia mendongak menatap wajah sang suami yang seolah sudah memberikan seluruh tubuhnya kepadanya.

“Pulang yuk.”

Harenza terkekeh karena ajakan Meldrick, ia tau pasti suaminya ini sedang menginginkan tetapi tidak dapat melakukan disini, dirumah orang tuanya.

Harenza turun dari pangkuan Meldrick, “Gamau ah, gue mau ketemu bubu dulu, bye.” Kurang ajar sekali Harenza ini, meninggalkan suaminya yang sudah sangat nafsu.

“Jancok.” Meldrick mengumpat mengundang tawa Harenza yang memenuhi kamar.

— fin.

Written by brownieszt.