He said yes!
“Bang, ini kita mau ngapain sih?” Haekhal membisiki Marcell, Marcell yang mendengar itu hanya tersenyum lalu mengelus tangan Haekhal lembut.
“Nanti kamu akan tau.” Haekhal berdecih kesal akibat Marcell yang sangat menyebalkan, memangnya tidak bisa menjawab pertanyaanya?
Diruang tengah rumah Haekhal itu lumayan besar sehingga dapat ditinggali banyak orang seperti, Marcell, Haekhal, Ibu, Ayah, Cia, Galang, Rubi. Mereka semua berkumpul diruang tengah atas perintah Marcell.
Marcell tersenyum saat melihat Ibu yang sudah mulai mengobrol dengan Ayah dan Rubi, dia menyunggingkan senyumannya.
“Mas, lama banget sih, Ibu sudah ngantuk ini, cepetan ada apa.” Ibu protes akibat mereka semua sudah dikumpulkan diruang tengah itu selama 1 jam tetapi mereka tidak tau maksud dari mereka dikumpulkan apa.
Marcell tersenyum tulus menatap Haekhal yang berada disebelahnya, Haekhal yang ditatap hanya mengernyitkan keningnya bingung.
“Saya disini mengumpulkan kalian semua karena,” Marcell mengenggam tangan Haekhal, Haekhal mulai mengerti maksud Marcell, dadanya berdegup cepat saat melihat Marcell tersenyum dan tidak mengalihkan pandangannya darinya.
“Dihadapan Ibu, dihadapan Ayah, dihadapan Galang, Rubi, dan Cia. Saya ingin meminta izin untuk mengajak Anak dan Adik kalian ini mengikat hubungan yang lebih serius,” Marcell menatap Haekhal tersenyum.
“Ayah, izinkan saya untuk mencintai anak Ayah dan meminjam anak Ayah untuk menjadi pendamping hidup saya selamanya. Saya ingin anak Ayah ini yang menemani saya dari saya buka mata hingga saya tutup mata. Ibu, izinkan Mas untuk mengajak Haekhal menikah. Galang, Rubi, izinkan saya untuk mengajak Adik kalian berbahagia bersama saya. Saya janji untuk membuat Haekhal terus tersenyum dan tertawa, saya janji tidak akan pernah membuat air matanya mengalir membasahi pipinya yang cantik.”
Diam-diam Ibu menangis, suasananya yang haru mendukung untuk Ibu menangis. Tetapi Ibu langsung menyeka air matanya itu dengan cepat agar anaknya itu tidak melihat beliau menangis.
“Ayah izinkan, Nak.” Ayah tersenyum menatap Marcell dan Haekhal. Ayah berani mengizinkan karena Ayah melihat sorot bahagia dari keduanya dan membuat dirinya yakin akan memberikan anaknya untuk diajak menikah.
“Saya sebagai Abang Haekhal, saya akan pikir-pikir dulu.” Ujaran itu lantas mendapatkan pukulan dibahunya dari sang istri tercinta.
“Serius dulu gabisa?”
“Bercanda, Sayang, biar gak tegang-tegang banget.”
Manusia yang ada diruang tengah itu lantas tertawa akibat ucapan Galang.
“Gue izinkan, Mar, awas sampe lo nyakitin adek gue.” Galang menggulung baju lengan panjangnya seperti mengajak Marcell berduel.
“Kita adu panjang.” Lanjutan dari kalimat Galang. Pukulan didapatkan lagi dari sang istri dan lemparan buah rambutan dari Haekhal tepat mengenai bahunya.
“Kenapasih manusia disini galak-galak semua.”
“Adu panjang apa, Mas?” Pertanyaan polos dari mulut anak remaja berumur 15 tahun.
Galang menyengir lalu, menunjukan jari kelingkingnya, “Adu panjang jari kelingking, Dek. Kan punyanya Abangmu pendek.”
“Bang Galang keluar lo! Atau gue tendang lo dari sini. Rusuh banget sih, heran.”
“Yaudah iya nih diem, nih.” Galang mengatupkan bibirnya, ia takut Adiknya itu benar-benar menendangnya. Haekhal tidak bercanda dengan ucapannya, jika ia mengancam seperti itu pasti akan Haekhal lakukan nantinya.
Marcell terkekeh.
“Ibu? Apakah Ibu mengizinkan?”
Ibu terdiam, tangan Ibu yang dingin Cia genggam seolah-olah memberikan Ibu semangat.
Ibu menundukkan kepalanya, air matanya mengalir deras.
“Ibu, mengalah demi Mas, ya, Bu?” Cia membisikan kalimat itu kepada Ibu. Ibu menarik nafasnya, lalu mendongakkan kepalanya dan menyeka air matanya.
Ibu tersenyum walau air mata itu tidak dapat berbohong dan terus mengalir, “Ibu izinkan.” Kalimat itu membuat Haekhal sangat ingin lompat-lompat dan teriak.
“Terimakasih, Ibu.” Marcell tersenyum tulus menatap sang Ibu. Marcell tidak melepaskan genggaman pada tangan Haekhal.
Marcell kini menatap Haekhal, Haekhal yang ditatap pun salah tingkah.
“Haekhal Ardiyaksa. Maukah kamu menjadi pendamping hidup saya dan menikmati sisa usia bersama saya? Saya mencintaimu. Menikahlah bersama saya, Haekhal.”
Haekhal bahagia saking bahagianya ia tidak sadar bahwa air matanya sudah mengalir bebas disudut matanya.
“Saya Haekhal Ardiyaksa menerima atas ajakanmu untuk menikmati sisa usia bersama. Saya bersedia menikah denganmu, Marcello Artarendra.”
Marcell tersenyum sangat lebar, ia mengeluarkan kotak kecil cantik berisi cincin cantik.
Marcell tersenyum saat melihat cincin ranting buatannya dua minggu yang lalu masih terpasang cantik di jari manisnya Haekhal.
Marcell melepaskan cincin ranting itu lalu menggantikan cincin yang cantik sesuai dengan janjinya minggu lalu.
“Cantik sekali, Haekhal.” Marcell mengecup tangan Haekhal.
“Terimakasih ya, Bang, sudah menepati janjinya.” Marcell yang mendengar itu hanya tersenyum lalu mengusap rambut Haekhal.
“Ciuman! Ciuman! Ciuman!” Itu adalah sorakan dari Galang, heboh sekali.
“Heh, ada anak kecil.” Rubi menyahut atas sorakan suaminya itu.
“Gapapa, Cia tutup mata nih, Cia tidak lihat.” Ayah, Ibu, Galang, Rubi, Marcell dan Haekhal lantas tertawa karena Cia yang menutup matanya dengan telapak tangannya. Kepala Cia, Ayah usap dengan lembut.
Marcell mempertemukan bibirnya dengan bibir Haekhal, Marcell mengecup sekilas bibir manis itu.
“Udah belum sih? Lama banget!” Protes Cia.
Haekhal terkekeh, “Udah, Cia.”
Cia membuka matanya.
“Cieee Mas Ekhal cieee. Ciee Mas Marcell. Yess Cia punya banyak Kakak.” Sorak bocah remaja itu bahagia sekali.
© brownieszt