Berjuang lagi.
Haekhal terus menggenggam tangan Marcell dengan erat, ia rapalkan doa tanpa henti agar Marcell dapat kembali tersadar.
“Abang, kangen, ayo bangun. Ayo jalan-jalan. Jangan tidur terus.” Tanpa sadar Haekhal kembali meneteskan air matanya.
“Bang, lo gak kangen gue? Yakin gak kangen gue? Gue aja kangen banget loh.” Haekhal menyenderkan kepalanya dibahu Marcell.
“Udah 3 hari lo tidur, gak capek? Ayo bangun... Katanya mau lamar gue.” Haekhal membuat pola abstrak di sprei. Kepalanya masih terus tersandar dibahu besar Marcell.
Pintu kamar ruang inap itu terbuka membuat Haekhal menegakkan tubuhnya, tidak lagi bersandar dibahu Marcell.
Satu wanita paruh baya dan satu remaja wanita, yang dapat Haekhal pastikan mereka adalah Ibu dan Adik tirinya Marcell.
“Ibu? Cia?”
“Mas ekhaaaalll.” Cia berlari menghampiri Haekhal dan memeluknya dengan erat.
“Marcia, kamu tidak usah meluk-meluk penjahat seperti dia.” Ibu menarik tangan Cia membuat pelukan Cia dan Haekhal terlepas.
Haekhal kaget karena ucapan Ibu, apa maksudnya, penjahat?
“Maksudnya Ibu apa ya?”
Ibu mendorong lengan Haekhal pelan, membuat hati Haekhal terluka, bukan lengannya yang terluka tetapi hatinya.
“Kamu penjahat tidak pantas ada disini. Keluar!” Ibu berteriak didepan muka Haekhal dan menunjuk pintu menyuruh Haekhal keluar.
“Ibu... Ibu kok gitu sama Mas Ekhal, Mas Ekhal kan gak salah.” Cia membela Haekhal. Raut wajahnya sangat sedih karena Haekhal diperlakukan tidak baik oleh Ibunya.
“Kamu tidak usah ikut-ikut, Marcia!” Ibu menatap Cia sinis lalu tatapannya itu kembali kepada Haekhal yang masih diam membeku.
Haekhal mengepalkan kedua tangannya erat-erat, menahan emosinya, sakit hatinya dan tangisannya.
“Tapi Bu... Saya...”
“Tidak ada alasan, keluar!” Ibu menarik tangan Haekhal dan mendorongnya keluar dari kamar.
Haekhal keluar dari kamar itu meninggalkan Marcell yang sedang berjuang.
“Maaf, Bang...” Haekhal berucap pelan sebelum ia keluar dari kamar.
“Ibu! Tangan Mas Marcell gerak-gerak.” Betul saja tangan Marcell bergerak.
“Panggil dokter, Cia.” Ibu menyuruh Cia untuk memanggil dokter.
“Haekhal.... Haekhal....” Ucapan pertama Marcell saat ia tersadarkan diri dari koma selama tiga hari.
“Ibu.... Haekhal dimana?” Pertanyaan pertama Marcell setelah ia sadarkan diri. Bahkan baru sadar saja ia hanya mengkhawatirkan Haekhal bukan dirinya sendiri yang bahkan perlu dikhawatirkan.
Ibu tidak menjawab, Ibu hanya diam.
“Ibu? Haekhal, dimana?”
“Diusir sama Ibu, Mas!” Cia datang dengan dokter dan suster itupun langsung menyahut pertanyaan Marcell.
“Bu, kenapa jahat sekali, sih? Haekhal tidak salah apa-apa, kenapa diperlakukan seperti itu? Haekhal tidak salah, Bu.”
“Mas, kamu itu fokus sama diri kamu aja dulu baru khawatirin anak orang. Lagipula dia yang bikin kamu seperti ini.”
“Bu...”
“Diam kamu! Dokter bagaimana kondisi anak saya?” Ibu mengalihkan topik, Marcell hanya menggelengkan kepalanya. Marcell pusing sekali karena ia sedang memikirkan Haekhal.
Dikepalanya Marcell hanya Haekhal, Haekhal dan Haekhal. Bukan kesehatannya.
“Pak Marcell? Apa yang anda pikirkan? Jangan dibuat stress ya, tidak baik, Pak.”
“Kepala saya pusing sekali, Dok.” Marcell memegangi kepalanya yang sangat pusing.
“Jangan pikirkan apapun dulu ya, Pak. Sudah sempurna semua, Bu. Tetapi tolong anaknya jangan diberi beban pikiran, ya. Ibu boleh ikut saya untuk membayar administrasi?”
Ibu hanya mengangguk, “Marcia jaga Masmu jangan sampai bertemu Haekhal.” Cia yang diajak ngomong hanya diam terlihat tidak peduli, karena Cia pun kesal dengan Ibunya itu.
Ibu meninggalkan Marcell dan Cia dikamar berdua.
“Mas, sstt.” Marcell menengok menatap Adiknya.
“Sana temui Mas ekhal.”
“Dimana, Dek? Bagaimana Ibu?”
Cia memukul lengan Marcell lumayan kencang membuat Marcell meringis.
“Cowok bukan sih, Mas? Masa sama Ibu doang takut. Cia sudah chat Mas Ekhal katanya Mas Ekhal ada ditaman.”
Cia menjauhi Marcell untuk mengambil kursi roda dipojok kamar. Dan kursi roda itu ia dekatkan pada Marcell.
Cia membantu Marcell yang masih susah untuk berdiri. Marcell meringis sebab sakit menyerang diperutnya.
Dan dengan seluruh perjuangan Cia karena hanya ingin Marcell duduk dikursi roda berhasil juga.
Marcell sudah sempurna duduk dikursi roda.
Cia mendorong kursi roda itu pelan, “Kalau dimarahin Ibu, gapapa, Mas. Itu namanya perjuangan demi sang kekasih.” Marcell yang mendengar tuturan Adiknya lantas terkekeh.
“Tau darimana kamu?”
“Dari drama korea, hehe.” Cia cengengesan.
“Tenang aja, Mas. Cia dukung Mas sama Mas Ekhal. Pokonya inimah Mas harus berjuang terus demi mendapatkan restu Ibu.” Cia terus mendorong kursi roda dengan tuturannya yang tidak ada habisnya itu, ada saja yang dibicarakan.
Cia mendekati Marcell kepada Haekhal yang sedang duduk dibangku taman rumah sakit dengan menunduk terlihat sedang putus asa.
“Haekhal...” Haekhal yang merasa dipanggil pun langsung mendongak karena suara itu tidak asing.
Haekhal yang melihat Marcell dan Cia pun langsung berdiri dan mendekati Marcell.
Haekhal berjongkok, ia tautkan tangannya dengan tangan Marcell.
“Emm Cia mau kesana dulu, ya. Dadah Mas.” Haekhal mengusak rambut Cia pelan lalu tersenyum menatap remaja berusia 15 tahun itu.
“Abang, udah sadar? Masih sakit?” Haekhal memegang perut Marcell dan disambut oleh ringisan Marcell, Haekhal terlihat panik karena memegang luka Marcell.
“Eh... Maaf, Bang.”
“Haekhal, tolong peluk saya.”
Haekhal yang diminta itu pun langsung memeluk Marcell, ia mendengar ringisan Marcell karena Haekhal tidak sengaja menyetuh luka tembak Marcell.
“Abang, maaf, ini salah gue. Maafin gue, Bang.” Marcell tersenyum lalu tangannya terulur mengusap pipi gembul Haekhal. Tangan Haekhal menyentuh tangan Marcell yang ada dipipinya.
“Haekhal, ayo berjuang. Ayo berjuang untuk mendapatkan restu Ibu. Mau kan, Haekhal? Haekhal, tolong jangan menyerah, ayo berjuang lagi.”
Haekhal mengangguk dengan air mata yang menetes disudut matanya.
“Iya, Abang. Ayo berjuang sekali lagi. Gue mau asal itu sama lo, gue mau, Bang.” Marcell yang mendengar itupun lantas tersenyum.
“Terimakasih Haekhal, saya mencintaimu.”
“Gue juga, Bang.” Haekhal tersenyum tulus.
“Haekhal, tolong ambikan rating itu.” Marcell menunjuk rating kecil yang berada dibawah dekat kakinya.
Haekhal meraih ranting itu lalu memberinya kepada Marcell.
Ranting itu Marcell potek menjadi kecil. Dengan telaten Marcell membuat ranting itu menjadi cincin yang cantik. Haekal takjub melihat keahlian tangan Marcell.
Marcell meraih tangan Haekhal, lalu memasangkan cincin itu dijari manis Haekhal. “Haekhal, saya belum bisa membelikan cincin yang cantik, tetapi saya harap ini bisa menandakan bahwa kamu milik saya seorang.”
“Maksudnya apa, Bang?”
“Jadi milik saya, ya. Ini hanya sementara, besok saya akan belikan cincin yang cantik lalu memasangkan pada kamu didepan Ayah dan Ibu. Saya akan membawa kamu lebih serius lagi, tungguin saya, ya. Kita berjuang lagi.”
Haekhal menatap jari manisnya yang terpasang cincin ranting buatan Marcell, Haekhal tersenyum tetapi air matanya mengalir.
Marcell menyeka air mata Haekhal, “Jangan menangis, Haekhal. Ayo tersenyum lagi, saya suka melihat senyuman kamu.” Haekhal tersenyum lalu kembali memeluk Marcell. Marcell mengelus rambut Haekhal.
“Saya mencintaimu. Sangat mencintaimu, Haekhal.”
“Gue lebih, Bang. Gue cinta sama lo, Bang.” Pipi Haekhal merona saat mengucapkan kata itu.
“Sebanyak apa, Haekhal?”
Haekhal membuka tangannya, “Sebanyak ini.”
“Itumah sedikit.”
“Emang lo sebesar apa sayang sama gue?”
“Sebesar dunia ini, Haekhal. Kamu itu dunia saya, apapun cara agar saya dapat bersama kamu, saya akan lakukan.”
Haekhal tertawa, “Jangan buat gue tambah sayang dong.”
“Marcello Artarendra!” Ibu mendekati Marcell dan Haekhal, membuat keduanya sangat kaget.
“Ibu bilang jangan mendekati dia!” Ibu menarik kursi roda itu dan membuat Haekhal terjatuh dengan posisi terduduk ditanah.
Cia yang melihat adegan itupun langsung mendekati Ibu dan Abangnya.
“Ibu, ini Cia yang menyuruh Mas untuk menemui Mas Haekhal. Marahi Cia saja, Bu, jangan Mas, marahi Cia.”
“Diam kamu Cia!”
“Saya sudah memperingati kamu, ya. Jangan kamu mendekati anak saya.” Ibu menunjuk-nunjuk Haekhal.
“Ibu, mau sebesar apapun usaha Ibu untuk menjauhi Mas dengan Haekhal, tidak akan bisa, Bu. Akan sia-sia, karena Mas dan Haekhal saling mencintai dan Mas akan melakukan semua cara agar Mas dapat bersama Haekhal.”
Cia mengangguk mendengar Marcell. Cia mengangkat tangannya, “Cia akan bantu semua usaha Mas agar Mas bisa bersama Mas Haekhal, Bu. Apa? Ibu harap Cia akan takut? Maaf Ibu, Cia tidak takut membela orang yang tidak seharusnya Ibu perlakukan seperti ini.” Remaja 15 tahun itu tidak takut berujar seperti itu.
“Mas Haekhal ayo bangun, ayo tunjukin seberapa besar sayang Mas ke Mas Marcell.” Cia mengulurkan tangannya untuk membantu Haekhal bangun.
Haekhal bangun, genggaman yang diberi Cia itu sangat erat seperti menyemangatinya. Haekhal menarik nafasnya.
“Saya akan berusaha agar saya bisa bersama dengan anak Ibu. Saya mencintai anak Ibu dan saya akan berusaha, Bu.” Haekhal mengatakan itu dengan tegas membuat Marcell tersenyum dan membuat Cia mengangguk semangat.
“Tiga lawan satu. Ibu kalah, ayo mengalah, Bu.” Cia masih saja membela sang Abang.
“Marcia, Marcello, tidak usah anggap Ibu lagi, kalian. Dasar anak durhaka!” Ibu pergi meninggalkan Marcell, Haekhal, dan Cia.
Haekhal menatap punggung Ibu yang perlahan menghilang, “Bang? Gimana?”
“Jangan khawatir, Mas. Nanti juga kalau Ibu sadar Ibu balik lagi.”
Marcell hanya mengangguk.
“Adek, kamu sementara tinggal bersama Mas Haekhal dulu, ya.”
Cia yang mendengar itu matanya langsung berbinar menatap Haekhal.
“Boleh Mas?”
Marcell mengangguk, “Ibu kan pergi, untuk sementara tinggal bersama Mas Haekhal dulu.” Cia yang mendengarnya mengangguk ribut.
Haekhal terkekeh melihat prilaku menggemaskan Cia.
“Kamu kenapa semangat banget sih, Cia? Memangnya gak sedih Ibu marah?” Haekhal mengusak rambut panjang Cia dan memainkannya dengan menyisiri rambut hitam panjang itu.
“Buat apa sedih, Ibu salah. Nanti juga akan ada saatnya Ibu tau kalau Ibu salah. Kata Ayah dulu, Cia tidak boleh membela orang yang salah.”
“Aduh lucunya.” Haekhal menarik Cia lalu memeluknya dengan sangat erat, bocah ini menyelamatkan hubungannya dengan Marcell, hebat sekali, bukan?
“Aaa Mas mau peluk juga.” Haekhal dan Cia terkekeh bersama.
Marcell berusaha untuk berdiri dan berhasil, Marcell dapat berdiri meski ia terus meringis karena perutnya yang perih.
Marcell memeluk kedua orang yang sangat ia sayang.
“Mas sayang kalian.”
“CIA SAYANG MAS JUGA!!!!!”
“Aku sayang Abang juga.”
Cia perlahan keluar dari pelukan itu.
“Cieeee Mas cieeeee.” Cia meledeki Masnya, karena Marcell berhasil memeluk Haekhal.
Marcell mengecup pucuk rambut Haekhal.
“Terus bersama saya, ya.”
“Aku janji akan selalu bersama Abang.”
“Cieeeeeeeeeeee.”
© Brownieszt