brownieszt

“Mampus.” Umpat Dipa saat melihat mobil terparkir di garasi rumahnya, itu adalah mobil milik Bunda-nya yang bertanda mertua dan Bunda nya sudah berada di rumahnya. Untung saja Dipa tadi menyempatkan diri untuk membeli pecel ayam, sekiranya itu dapat menjadi alasannya keluar, karena tadi ia bilang bahwa ia berada di rumah.

Tak lama mobil hitam mewah itu memasuki garasi rumahnya, garasi rumah Dipa cukup besar hingga muat untuk banyak mobil dan motor. Dipa tau betul itu adalah mobil milik suaminya, Ian.

Dipa menunggu Ian selesai parkir dan tak lama Ian keluar dari mobil membawa se kresek camilan. Dipa bernapas lega ternyata sebelum pulang Ian membaca grup terlebih dahulu.

“Untung aja lo baca grup.”

“Tenang aja, Dipaaa. Ayo masuk, pasti kita udah di tunggu Mamah sama Bunda.” Ian mengenggam tangan dingin Dipa, Ian paham kalau Dipa sedikit gugup karena ingin bertemu sang ibu dan mertuanya, ia hanya takut pertanyaan-pertanyaan aneh tentang hubungan pernikahannya.

“Dip... Are you okay?” Ian bertanya karena tangan Dipa sangat dingin dan berkeringat. Dipa menatap Ian lalu tersenyum tipis, ia menganggukan kepalanya pelan, menandakan bahwa ia tidak apa-apa.

“Ian, ayo hadapin bersama-sama.” Ian tersenyum tulus, matanya menatap lawan bicaranya dengan sangat dalam. “Iya, Dipa, jangan khawatir, ya. Ada aku di sini.”

Ian membuka pintu besar yang berdiri megah. Keduanya tersenyum lalu berjalan beriringan dengan tangan yang terus bertaut. Keduanya sudah siap akan semua pertanyaan yang akan di lemparkan pada keduanya.

Keduanya sampai pada ruang keluarga. Mamah dan Bunda yang duduk di sofa menatap anak dan menantunya yang berdiri berdua dengan tangan yang bertaut, keduanya tersenyum.

“Aduh-aduh dasar penganten baru. Itu tangan ada lem nya, ya?” Bunda terkekeh sendiri karena ucapannya. Semua yang ada di sana terkekeh, termasuk Ian dan Dipa, walau tawanya sangat dipaksakan.

“Oh iya tadi aku beli pecel ayam kesukaan Bunda dan Mamah. Ayo, Bun, Mah ke ruang makan, kita makan. Pasti belum pada makan 'kan?”

“Wih tau aja Mamah belum makan.” Senyuman Mamah mengembang saat melihat dua kantung kresek yang di bawa Dipa.

Dipa berjalan menuju ruang makan. Menyiapkan semuanya sendiri, tanpa bantuan siapapun, bahkan Bi Tari yang ingin membantu pun ia tolak karena ingin caper pada mertua dan sang ibu.

“Dipta rajin banget, ya? Kamu pasti bahagia banget hidup sama Dipta.” Bisik Mamah pada Ian, sang anak. Yang dapat di dengar oleh Ian dan Bunda.

“Wah bukan lagi, Mah, setiap hari Ian merasa bahagia dan beruntung karena telah menikahkan Dipa.” Ian tersenyum menatap Dipa yang sibuk mengambil piring lalu menaruh potongan ayam di piring.

“Kemari, Mah, Bun. Sudah siap semua, ayo kita makan!” Teriak Dipa riang. Membangkitkan semangat pada manusia di sana. Mamah, Bunda dan Ian beranjak dari sofa lalu berjalan menuju ruang makan.

“Terimakasih, Sayang, sudah menghidangkan.” Dipa yang mendengar ucapan Ian sangat kaget karena tiba-tiba saja Ian memanggilnya dengan kata 'sayang' yang sebelumnya belum pernah di ucapkan oleh Ian. Dipa tersenyum kaku mendengarnya sedangkan Mamah dan Bunda yang mendengarkan kalimat romantis anaknya turut tersenyum bahagia.

“Aku cuma menyiapkan, enggak memasaknya.”

“Tetap saja. Terimakasih, ya, Dipa ku.”

“Cukup, Ian. Malu sama Bunda dan Mamah.” Ucap Dipa dengan warna merah di pipinya yang sangat menggemaskan. Ian terkekeh melihat Dipa yang sedang salah tingkah. Ian menggunakan kesempatan ini dengan sangat baik, karena ia sudah memimpikan hal ini terjadi walau hanya dilakukan di depan orang tua nya saja. Tapi Ian yakin, suatu hari nanti keduanya tidak akan pernah pura-pura lagi di depan orang tua nya seperti ini.

“Enggak apa-apa, Dipta, Bunda dan Mamah paham. Kami juga pernah muda.” Ucap Mamah dengan senyumannya yang tidak jauh dengan meledek dirinya yang sedang salah tingkah.

Dipa tersenyum mendengarnya, “Ayo di makan, Mah, Bun. Semoga saja enak, soalnya warung baru di depan komplek.”

Dipa melihat kedua wanita paruh baya yang masih tetap cantik itu sedang asik makan. Dipa menatap Ian yang duduk di depannya, Ian ternyata sedang menatapnya, tatapannya selalu sama, tatapan yang sangat dalam dan tulus, Dipa selalu jatuh dengan tatapan itu. Ian tersenyum karena tatapannya tertangkap oleh Dipa, sedangkan Dipa hanya menatap sinis pada Ian seperti sedang memberi ancaman pada Ian. Ian tau pasti karena dirinya memanggil Dipa dengan panggilan 'sayang' Ian terkekeh pelan melihat tatapan Dipa.

“Hubungan kalian selalu baik 'kan, Nak?” Tanya Bunda secara tiba-tiba. Membuat Dipa yang sedang makan langsung tersedak. Ian sebagai suami sigap langsung menyodorkan minumnya kepada Dipa dan langsung di terima dengan baik oleh Dipa.

“Kenapa kaget gitu dengarnya?” Tanya Bunda, lagi. Karena merasa bingung Dipa seperti merasa kaget dengan pertanyaanya.

“Kok pakai nanya sih, say, ya pasti selalu baik lahhh.” Yang menjawab adalah Mamah. Mamah yakin sekali hubungan anak dan menantunya itu selalu baik.

“Iya, Bun. Mamah betul. Hubungan kita selalu baik. Rasa sayang Ian ke Dipa selalu bertambah setiap detik, bahkan Ian ingin sekali mengucapkan Ian mencintai Dipa setiap detik.” Ucap Ian yang kembali membuat Dipa terkejut mendengarnya.

Mamah dan Bunda tersenyum puas mendengar jawaban Ian. Karena keduanya merasa lega mendengarnya.

“Bunda kira akan sulit dengan cinta di perjodohan. Ternyata gampang, ya, membuat kalian jatuh cinta satu sama lain.”

“Kami sudah mengenal sejak kecil, Bun. Enggak mungkin kami enggak pernah merasakan jatuh cinta satu sama lain sebelumnya.” Ian kembali menjawab. Sedangkan Dipa hanya sibuk menghabiskan minum yang ada di gelas dengan pikiran yang sangat sibuk memikirkan ucapan Ian yang tadi terlontarkan begitu saja. Dipa yakin itu pasti ucapan yang ada di hatinya karena Ian lancar sekali menjawabnya tanpa ada nada kebohongan diucapannya.

“Mamah dan Bunda lega mendengarnya, Nak. Akur terus, ya, kalau ada masalah hadapi bersama.” Nasihat Mamah kepada Ian dan Dipa.


“Dip? Tidur gih udah malam. Gue biar tidur di sofa aja. Pasti lo enggak betah 'kan ada gue di sini.” Ian mendudukan dirinya di sofa yang letaknya tidak jauh dari ranjang Dipa. Dipa hanya diam, dirinya menatap foto pernikahan yang ada di dinding kamarnya. Dipa melihat senyuman keduanya sangat merekah mengalahkan matahari yang bersinar siang itu.

“Ian, senyumnya kenapa seperti terlalu bahagia? Padahal gue di sana hanya berpura-pura bahagia.” Ian menatap Dipa lalu mengikuti arah penglihatan Dipa, foto pernikahannya. Hati Ian sakit, seperti di pukul beribu manusia saat mendengar kalau manusia yang sangat ia sayangi itu hanya berpura-pura bahagia saat hari bahagianya.

“Hahaha. Tapi gue di sana enggak berpura-pura, Dip.” Senyum Ian menatap Dipa yang sontak menatapnya.

“Maksudnya?”

“Enggak. Ayo tidur. Matiin lampunya, ya. Udah larut.” Ian beranjak dari duduknya menuju saklar lampu yang letaknya di dekat ranjang.

“Ian.”

“Iya, Dipa?”

“Sini.”

“Maksudnya?”

“Jangan tidur di sofa nanti badannya sakit-sakit, enggak enak. Tidur di ranjang aja sama gue.” Ian sangat kaget mendengar pinta Dipa. Tidak bohong kalau dirinya sangat senang saat mendengarnya.

“Boleh, Dip?”

Dipa tidak menjawab dengan kata tapi Ian langsung mengerti dengan anggukan yang di beri Dipa.

Saat lampu itu berhasil di matikan oleh Ian. Dalam kegelapan, Ian tersenyum menang. Perutnya seperti ada kupu-kupu yang sangat banyak berterbangan di perutnya membuat dirinya sangat geli. Ian tau betul perasaan ini.

Ian meloncat pada ranjang lalu memeluk Dipa dengan sangat erat, membuat Dipa berteriak dan memukul tubuh Ian.

“Ian anjing! Anjinggg Ian. Enggak usah peluk-peluk, bangsat! Geli anjing. Pergi lo.” Pukulan demi pukulan yang Dipa berikan pada tubuh Ian tetapi tidak membuat Ian melepaskan pelukan eratnya pada tubuh Dipa. Pelukannya sangat hangat, Ian suka, juga ternyata Dipa suka dengan perasaan ini.

Dipa lelah karena selalu berontak, alhasil ia hanya pasrah di peluk erat oleh Ian, tidak apa-apa 'kan? Ian suaminya, tidak apa-apa dong. Dipa mengulurkan tangannya membalas pelukan Ian.

“Dipa, gue pengin setiap hari seperti ini. Boleh enggak?” Tanya Ian kepada Dipa. Dipa hanya diam, berpura-pura sudah tidur padahal ia hanya bingung dengan jawaban yang akan melengkapi pertanyaan Ian. Gengsi, denial terus menggerogoti hati Dipa.

Written by brownieszt.

“Mel, perut gue sakit bangeeett, gak kuaatt.” Harenza meremat tangan Meldrick dengan sangat erat berharap sakit pada perutnya mereda, berharap sakit itu lenyap tetapi sakit itu terus menyerang Harenza hingga tubuhnya berkeringat banyak.

“Iya, Ay, sabar ya. Dokter, ini kapan ya Suami saya dibius?” Meldrick bertanya kepada seorang pria yang berkenaan jas warna putih rapih yang sedang berganti baju operasi.

“Sebentar, Pak, tunggu ya.”

Setelah 9 bulan lamanya Harenza mengandung, kini bayi didalam perutnya sudah meminta untuk dilahirkan, meminta untuk melihat dunia yang cukup indah, meminta untuk bernapas lega.

Hari ini, dari pagi Harenza sudah merasakan perutnya yang sangat amat sakit, tidak disangka olehnya bahwa melahirkan sangat menyakitkan. Air matanya terus menetes menyatu dengan keringatnya, perutnya sejak tadi dielus oleh Meldrick, katanya agar sakitnya mereda, tapi itu sangat tidak berguna bagi Harenza.

Harenza seperti sedang bertaruh dengan hidupnya, ia seperti sedang dihadapkan pilihan antara menyerah atau tetap kuat, tetapi sejak tadi ucapan-ucapan cinta dari mulut Meldrick tidak berhenti berucap.

“Lo harus kuat.”

“Gue sayang banget sama lo, kita jaga dan rawat bayi ini, ya.”

“Sayang, Sayangnya gue hebat. Cintanya gue hebat, gue sayang banget.”

Kurang lebih seperti itu ucapan Meldrick yang berhasil membuat Harenza memilih tetap kuat.

Tangisan bayi menyeruak memenuhi ruangan operasi. Harenza berhasil mempertaruhkan hidupnya untuk seorang bayi laki-laki. Meldrick bernapas lega tetapi tidak dengan Harenza, karena ia masih menahan sakit nan perih saat perutnya dijahit oleh Dokter.

“Hebat.” Senyuman bangga Meldrick tunjukkan pada Harenza yang juga sedang tersenyum menatapnya.

“Calio, tiba-tiba gue kepikiran nama itu, Mel.”

Meldrick tersenyum, ia berpikir sejenak, tidak buruk, pikirnya.

“Calio Leandra.”

“Kesayangannya gue bertambah sekarang.” Ucap Meldrick sambil mengecup kening Harenza dengan lembut.

– fin.

Written by brownieszt.

Kaki Biru melemas saat melihat mantan suaminya yang sedang terduduk dengan senyuman yang tiba-tiba saja tersungging diwajah Langit.

Langit tersenyum saat melihat Birunya disana, Birunya yang masih peduli dengannya, Birunya yang sudah ia buat luka itu masih khawatir dengan keadaanya, manusia yang sangat baik hatinya ada pada diri Biru.

Biru mendekati tubuh Langit yang penuh luka dan darah, ia seperti tidak diizinkan untuk berpikir, Biru hanya terdiam melihat tubuh Langit penuh luka.

“Cukup adil, Dek, lukanya bukan di hati doang tapi di badan juga, haha.” Ucap Langit dengan kekehan di akhir, membuat Biru sangat ingin memeluknya dan kembali pada Langit.

“Ayo ke rumah sakit, Mas.”

“Mas mau nikmati sakitnya, sakitnya tidak sesakit luka Adek yang Mas ukir indah dalam hati Adek. Luka ini gak seberapa dengan luka Adek, Mas gak apa.” Senyumnya tersungging indah pada bibir Langit. Senyum yang sudah hilang selama satu tahun, kini kembali saat melihat Biru, lelaki yang sangat ia rindukan hadirnya.

Biru terbeku saat melihat senyum Langit, senyum yang tidak pernah ia lihat, senyumnya sangat tulus, senyumnya mampu membuat Biru sangat menyesal karena meninggalkannya sendiri menanggung luka yang ia tinggal.

Hidup Biru selama setahun ini mungkin tidak se sepi hidup Langit, tapi Biru tidak munafik, ia selalu merindukan Langit, kepalanya penuh dengan sosok Langit, telinganya selalu mendengar ucapan Langit, ia tanpa sadar selalu membayangkan Langit berada didekatnya. Sama dengan Langit, Biru hanya menginginkan Langit, Langit dan Langit.

Biru membawa tubuh Langit menuju Apartemennya yang sudah seminggu ini ia tinggali. Langit tidak mau dibawa ke rumah sakit, ia hanya ingin diobati oleh Biru. Apa boleh buat? Biru hanya bisa menuruti perkataan Langit.

Biru membiarkan Langit meniduri ranjang besarnya, mengobati luka Langit yang terbuka dengan telaten.

“Kenapa jadi gini, Mas? Kenapa terlalu menyerah?”

Langit terdiam, ia berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan dari Biru, sangat sulit menjawabnya, padahal sudah jelas yang buat dirinya menyerah adalah Biru, karena Biru tidak lagi menginginkannya, karena dirinya terlalu menyesal sudah menyia-nyiakan manusia baik seperti Biru.

Langit mengambil tangan Biru yang sedang sibuk mengobati lukanya, ia tatap mata biru lamat-lamat, ia seperti sedang menerawang apa yang sedang Biru rasakan, apa yang sedang Biru pikirkan, tetapi Biru terlalu misterius, rautnya yang terlalu datar sulit untuk ditebak.

“Mas terlalu menyesal. Cinta datangnya terlalu lambat, Dek. Mas merasakan itu saat Adek pergi dari kehidupan Mas, Mas merasakan itu saat Hakim sudah ketuk palu menyatakan kita sudah tidak ada hubungan lagi. Dek... Maaf... Mas mau Adek, mau Adek lagi, mau—”

“Dulu, kita ada pada waktu yang salah, Mas. Yang sudah berlalu biarkanlah berlalu.” Ucapan Langit, Biru potong. Hati Biru terlalu sakit saat mendengar tuturan Langit.

Biru mengambil kembali jari jemarinya yang Langit genggam erat. Biru tersenyum. Biru terlalu menikmati kesedihan dan lukanya. Biru menggeleng tiba-tiba mungkin untuk menjawab kalimat terakhir yang Langit ucapkan, tentang menginginkannya kembali. Biru tidak mau lagi di tipu.

“Mas akan bayar luka-luka Adek. Mas mau membalut luka-luka Adek. Mas mau Adek. Mas sayang Adek. Mas janji, Mas gak akan lagi buat Adek terluka seperti kemarin.” Satu tetes air mata lolos pada mata Langit. Air mata penuh penyesalan, air mata penuh luka, air mata penuh mohon.

Biru tidak tahan dengan sesaknya yang terus menerus menyerang dadanya, dadanya bergemuruh, air matanya mengalir saat melihat Langit menangis dan ucapan Langit yang mampu membuat Biru sangat sakit.

Biru takut, takut yang kemarin kembali terjadi, takut jika yang diucapkan sekarang oleh Langit penuh dengan kebohongan, takut jika ia harus kembali terluka, takut, Biru sangat takut, Biru penuh ketakutan, sekarang.

Tapi ketakutan itu seperti tersihir untuk pergi saat Biru mendekap tubuh Langit dan merasakan tubuh Langit yang sangat bergetar hebat saat ia memeluknya. Usapannya pada punggung Langit untuk meredakan gemetar tubuh Langit.

Keduanya adalah manusia penuh luka yang saling membutuhkan satu sama lain untuk membalut luka-lukanya dengan penuh kasih sayang.

Apa yang dikatakan Langit pada Biru benar adanya, hidup dirinya yang sangat tidak beraturan tanpa sang Biru.

Hari Langit menjadi Abu duka tanpa sang Biru.

Hari Langit yang biasanya penuh dengan senyum dan tawa canda, satu tahun belakang ini menjadi sepi tanpa senyum dan tawa canda, walaupun itu bohong sekalipun.

Satu tahun belakang ini, Langit hidup seperti penuh penyesalan. Bibirnya tidak pernah tertarik ke atas, senyum tidak pernah tersungging diwajahnya yang tampan.

Disinilah, Langit berada, di kota New York, berjalan tanpa tujuan, air mata yang menetes tanpa sadarnya. Kakinya tidak kuat untuk berjalan, ia duduk di bangku taman, membaca sedikit pesan yang disampaikan Biru kepadanya. Tidak banyak yang disampaikan padanya, tapi cukup buat hatinya sangat hancur.

Langit memukul dadanya penuh penyesalan saat kembali baca pesan pada handphonenya. Ia sudah tidak sanggup lagi untuk bicara. Lidahnya kelu untuk bicara sepatah kata pun, ia tidak peduli pada seorang lelaki yang peduli pada dirinya untuk menanyakan keadaannya.

Langit kembali berjalan, menyusuri kota besar nan ramai ini.

“Heeeeeyyy!” Teriakan seorang lelaki yang memenuhi telinganya.

Langit sadar bahwa ada mobil yang berjalan kearahnya dengan kecepatan penuh. Langit seperti berserah diri pada mobil itu, ia tidak sanggup untuk berlari menjauh. Ia sudah menyerah, dunia sudah tidak lagi mengharapkannya, buat apa lagi dia hidup?

Langit tersungkur, terpental, mobil tersebut menendang tubuhnya jauh dari tempat ia berdiri tadi.

Air matanya mengalir saat seluruh tubuhnya sangat perih, darahnya memenuhi jalan tetapi kesadarannya masih penuh, nyawanya pun masih ada. Langit merutuki, Kenapa dirinya masih hidup. Kenapa masih diberi kesempatan untuk hidup. Padahal ia sudah menyerah.

Ia berdiri dengan kepala yang sangat pening, ia memukul kepalanya kencang untuk kembali pada kesadarannya. Banyak pertanyaan dari manusia disana, tapi Langit hanya menjawab “I'm okay, I can walk, thank you.”

Iya, betul. Langit memaksakan tubuhnya yang mungkin setengah sadar itu untuk tetap berjalan menyusuri jalan besar New York. Tidak peduli dengan manusia yang menatapnya bingung karena dirinya yang penuh dengan darah.

Langit mengetikkan pesan pada Biru, ia butuh pertolongannya, ia hanya ingin di obati Biru, ia ingin ke rumah sakit bersama Biru, ia hanya ingin dengan Biru, Biru, Biru dan Biru.

Langit terduduk dibangku kosong dengan mata yang terpejam. Karena kakinya sudah menyerah, tidak sanggup lagi untuk berjalan, tubuhnya sudah menolak keegoisan Langit.

Cepat bilang bahwa Langit manusia bodoh, manusia brengsek, manusia tidak tau diri, manusia egois, karena ia cocok dapat julukan tersebut.

Hadriel mengedarkan pandangannya saat ia sudah sampai pada Mall besar. Ia berkali-kali melihat handphone nya untuk mengecek pesan dari Zadkiel, seseorang yang ingin bertemu dengannya hari ini.

Pesan masuk dari Zadkiel.

kakaaak kieeeell strangerss : Saya dilantai satu, didepan Uniqlo.

Setelah membaca pesan dari Zadkiel, Hadriel kembali melangkahkan kakinya menuju toko baju yang bernama Uniqlo.

Netranya masih mengedar saat ia sudah didepan tujuannya.

“Hadriel? Benar?” Sontak jantung Hadriel seperti ingin copot, kaget sekali.

Hadriel menatap Zadkiel dari ujung kaki hingga ujung kepala, sungguh sangat tampan dan menawan. Hadriel seperti tersihir oleh pandangan Zadkiel.

“Hey? Kenapa bengong?” Hadriel mengerjapkan matanya berkali-kali, sangat menggemaskan jika dilihat.

“Kakak Kiel?”

“Iya, ini Kakak Kiel. Nice to meet you, Hadriel.”

Bibir Hadriel melengkung keatas, “Nice to meet you too, Kakak!” Ucapnya dengan riang.

“Ayo pilih bajunya.” Zadkiel menggenggam tangan Hadriel, membuat Hadriel kembali membeku menatap jari yang bertaut dibawah.

“Eh— Sorry, maaf lancang.”

“Gak apa-apa! Ayo Kakak!” Bukan melepaskan jari yang bertaut diantara keduanya, Hadriel malah mengeratkan tautan jarinya dengan jari Zadkiel, ia mengajak Zadkiel masuk pada toko baju.


“Kakak...” Hadriel menunjukan satu baju putih dengan gambar kucing ditengahnya.

“Kamu suka?” Saat mendengar pertanyaan itu, Hadriel mengangguk dengan cepat.

“Ambil.”

“Yeayyy! Terimakasih Kakak!” Sontak senangnya membuat Hadriel tidak sengaja memeluk tubuh besar Zadkiel, membuat keduanya kaget dan canggung.

“Yuk bayar.”

Setelah keduanya selesai berbelanja baju, keduanya tidak langsung pulang tetapi mampir untuk makan malam, makan es krim, belanja tas, belanja sepatu, hingga bermain Timezone.

Hari ini dengan pertemuan kedua tidak ada canggung diantara keduanya. Terlihat seperti pasangan yang serasi.

Written by brownieszt.

Setelah membaca pesan dari sang Abang, kaki Haekhal seperti tidak dapat merasakan apapun, melemas, ia terduduk dikursi dekatnya dengan air mata yang berderai, dada yang bergemuruh.

Marcell mengambil handphone Haekhal, lalu ia mengambil alih pesan Haekhal pada sang Abang.

Marcell memeluk tubuh rapuh Haekhal, ia menepuk punggung Haekhal dengan lembut.

“Ayah pasti tidak akan kenapa-napa, percaya sama saya. Sayang, hei, jangan gini, ayo berdiri dulu. Kita harus cepat-cepat kerumah sakit.”

“Ayah, Bang... Ayah sakit... Aku gak mau kehilangan Ayah...”

“Kamu tidak akan kehilangan Ayah, ayo kita bertemu Ayah.”

Marcell membopong tubuh Haekhal yang sudah tidak dapat berjalan dengan biasa karena kakinya sangat lemas.


Keduanya sudah sampai rumah sakit, bahkan saat ini keduanya sudah masuk dalam kamar inap Ayah. Haekhal perlahan mendekati sang Ayah yang rebahan diatas ranjang, Ayah tetap tersenyum walau ditubuhnya banyak sekali jarum yang menusuk.

“Ayah... Tidak apa-apa...” Ucapan dari sang Ayah sama sekali tidak membuat hati Haekhal tenang melainkan hatinya semakin terluka saat mendengar ucapan itu.

Haekhal menggengam tangan yang tidak lagi bisa dibilang mulus, tangan yang perlahan dimakan oleh waktu. Haekhal mengenggam tangan keriput dan dingin milik Ayah.

“Adek disini, Yah, Adek disini nemenin Ayah, Ayah jangan kemana-mana, ya, disini aja.”

Ayah tersenyum saat mendengar tuturan dari anak sambungnya itu. Ayah menatapi kedua anaknya yang sangat ia sayangi dan ia ingin jaga selamanya.

“Anak Ayah sekarang sudah punya pendamping hidup masing-masing, ya. Ayah merasa kalian pasti sudah tidak membutuhkan Ayah. Abang sudah mempunyai wanita cantik yang akan menemani Abang, yang akan menjadi tempat pulang Abang dan sebentar lagi Abang mempunyai anak kecil yang sangat menggemaskan.”

Tangan Ayah terulur mengusap pipi Bang Galang. Senyumnya tidak runtuh dari tadi.

“Adek..” Pandangan Ayah beralih pada Haekhal.

“Jangan ucapin itu, Yah, Adek mohon.”

Ayah terkekeh sejenak, “Anak Ayah ternyata sudah besar, ya, sudah tidak bandel lagi, sekarang sudah dewasa bahkan sudah menikah. Adek kuatin lagi, ya, bahunya. Ayah tidak akan pernah pergi, Ayah selalu berada dihati kalian.”

Tubuh Ayah dipeluki oleh dua buah hatinya yang sudah ia rawat sejak kecil. Bang Galang berada disebelah kiri Ayah sedangkan Haekhal berada disebelah kanan Ayah.

Ayah memejamkan mata, air matanya menetes saat ia memejamkan matanya. Ayah merasakan hangat dalam pelukan kedua anaknya.

Disinilah; Gereja, yang menyatukan Marcell dan Haekhal menjadi satu asa. Haekhal sejak tadi menyeka air matanya yang tak sengaja jatuh, hatinya sangat lega tapi mengapa air matanya terus menetes. Ia sejak tadi melamun menatapi calon suaminya yang sedang bicara dengan pastor.

Ada tangan yang mengelus bahu lebar Haekhal yang rapuh, saat Haekhal menengok sosok itu tersenyum.

“Senyum dong senyum, masa nangis terus sih.” Haekhal kembali menangis saat mendengar tuturan dari teman masa kecil dengan jarak umur diatas empat tahun itu.

Harenza terkekeh melihat Haekhal menangis dengan tersedu-sedu, ia langsung memeluk teman, sahabat serta adeknya itu, tangannya memukul-mukul punggung besar Haekhal dengan pelan bertujuan untuk menguatkan tubuh Haekhal.

“Udah ah, malu anjir nangis-nangis gini. Sebentar lagi dipanggil, sana siapin diri lagi.”

“Kak, gue gak nyangka bisa disini—gue gak nyangka sebentar lagi jadi suami dari Inspektur Marcello Artarendra, gue gak nyangka banget Kak, asli.” Harenza tersenyum lalu mengangguk, senyumannya itu membuat hati Haekhal teduh sangat menenangkan saat melihat senyuman dari Harenza.

“Lo hebat, Khal. Lo hebat, kalian hebat bisa sampai posisi ini, itu namanya hebat banget, kalian berhasil. Udahan, ya, udahan berjuangnya, sekarang waktunya menikmati hasil dari perjuangan kalian. Gue ngerti banget perasaan lo, Khal.” Tangannya kembali menepuk bahu lebar Haekhal.

“Sana kebelakang, make up lo luntur noh, minta dibenerin dikit aja.” Harenza mendorong tubuh Haekhal.

“Thank you ya, Kak.”

Ucapan terimakasih itu hanya dihadiahi jempolan dan kekehan dari Harenza.


Genggaman tangan dari sang Ayah sangat kuat tetapi Haekhal tau betul tangan dari Ayahnya itu bergetar menahan sesak.

Ayah mengantarkan Haekhal menuju calon suaminya, sesak menyerang dadanya, tangannya bergetar, jika ditanya apakah Ayah rela atau tidak? Pasti dengan lantang Ayah akan menjawab rela! Karena Ayah tau kebahagiaan anaknya.

Saat keduanya sudah sampai didepan Marcell dan Pastor, Ayah menyerahkan genggaman tangan Haekhal kepada Marcell. Ayah tersenyum menatap anak dan calon menantunya.

“Tugas Ayah sudah selesai, tolong jaga anak Ayah baik-baik ya, Mas.” Sebelum Ayah berbalik, Ayah mengucapkan itu kepada Marcell, tangannya menepuk bahu besar dan kuat milik Marcell, tepukan itu mampu membuat Marcell berdiri kuat.

“Iya Ayah, terimakasih, ya, sudah percaya sama saya.”

Ayah mengangguk, lalu membalikkan badannya, berjalan menjauh dari anak dan calon suaminya.


Keduanya mengucapkan janji sehidup semati dengan saksi manusia yang sedang berdiri diantara keduanya dengan jas warna putih bersih.

“Je déclare par la présente que Marcello Artarendra et Haekhal Ardiyaksa sont officiellement devenus mari et femme, félicitations à vous deux, que le bonheur soit toujours avec vous. Que Dieu vous bénisse tous.” Ucap sang Pastor dengan lantang, membuat keduanya merasakan kebahagiaan yang membuncah.

(Translate: Dengan ini saya menyatakan bahwa Marcello Artarendra dan Haekhal Ardiyaksa telah resmi menjadi pasangan suami, selamat untuk kalian berdua, semoga kebahagiaan selalu menyertai kalian. Tuhan memberkati kalian semua.)

“Haekhal, we did it.” Marcell merengkuh tubuh Haekhal dengan sangat erat. Dilanjut dengan kecupan bibir sekilas pada dua insan yang berbahagia pada hari ini, yang menandakan keduanya sudah bersatu dalam satu ikatan.

“Abang, Je vous aime.” Haekhal mendongak lalu tersenyum menatap Marcell yang hari ini sudah resmi menjadi pasangan sehidup sematinya.

“Je vous aime aussie.”

Hari ini di hari Rabu tanggal 22 bulan Juni tahun 2022, Prancis menjadi saksi bisu kisah cinta mereka dimulai dari awal kembali.

Written by brownieszt.

“Masuk duluan gih, saya ingin mengambil koper yang ada dimobil.” Ucap Marcell sambil menunjukan seluruh giginya, Marcell tersenyum menatap Haekhal yang sedang menelusuri rumah yang berdiri megah.

Haekhal mengangguk, lalu ia berjalan menuju pintu besar. Dilihat dari depan, rumah ini berkonsep sederhana tetapi megah, jelas sekali dari depan Haekhal dapat merasakan kenyamanan didalamnya.

Haekhal membuka pintu itu. Pada saat memasuki rumah, Haekhal menelusuri seluruh rumahnya yang bernuansa coklat. Adem dan nyaman sekali saat memasuki rumah.

“Suka?” Ucap Marcell dari belakang Haekhal dengan menarik dua koper. Haekhal mengangguk ribut saat mendengar pertanyaan itu.

“Ayo kita lihat kamar.” Marcell meraih pinggang Haekhal, lalu mengajaknya berjalan keatas.

Haekhal tidak dapat bicara apapun, ia membungkam mulutnya rapat-rapat, perasaan bingung dan senang Haekhal membuncah sehingga membuat dirinya terdiam membeku dan hanya mengikuti arahan dari Marcell.

Ini rumahnya? Rumah yang akan menjadi tempat ia pulang? Kurang lebih seperti itu yang ada didalam pikiran Haekhal.

Sebenarnya Haekhal tidak menuntut Marcell untuk memberikan rumah megah dan besar seperti ini, Haekhal hanya ingin rumah sederhana dan nyaman yang bisa menjadi tempatnya pulang. Tetapi Haekhal tetap bersyukur, ia senang sekali, ini melebihi ekspektasinya.

Tak sadar keduanya sudah terduduk diatas ranjang empuk dikamar utama; yang akan menjadi tempat keduanya nanti bertukar cerita. Kamar utama Marcell dan Haekhal.

“Kamar ini yang akan menjadi saksi kita berdua. Saksi dimana kita nanti saling mencintai satu sama lain.” Pipi Haekhal memerah saat mendengar tuturan Marcell, Haekhal tau jalan pikiran Marcell.

Marcell merapatkan tubuh keduanya, ia menempatkan wajahnya dileher Haekhal, lalu ia kecup leher itu.

“Rumah ini untuk kamu.”

“Kita, Bang.” Sangkal Haekhal dengan cepat, jelas saja rumah ini bukan miliknya tetapi milik mereka berdua.

“Saya hadiahkan untuk kamu yang sudah menerima ajakan saya untuk berani.”

“Rumah ini juga untuk Abang, karena Abang udah ngajak aku untuk berani.” Haekhal mengembalikan ucapan Marcell.

Tubuh keduanya bertaut.

“Saya mencintaimu, Haekhal.”

“Aku lebih, Bang.”

Cinta yang membawa keduanya sampai sini.


“Kamu suka?” Tanya Marcell kepada Haekhal sambil menunjukan foto undangan yang sudah tertera nama dan tanggal disana. Marcell sudah menyiapkan semuanya, dari undangan hingga gedung, Marcell sendiri yang menyiapkan, tanpa bilang kepada Haekhal. Ingin membuat kejutan, katanya.

Saat ini Marcell dan Haekhal sedang duduk santai diruang tengah dengan teh yang tersaji hangat diatas meja.

Haekhal menatap Marcell bingung, alisnya bertaut. Haekhal menunjuk tanggal itu dengan jari telunjuknya.

“Tanggal dua puluh dua?”

Marcell mengangguk dengan senyum yang tidak akan pernah luntur jika menatap kekasihnya yang ada didepan matanya ini.

“ABANG YANG BENER AJA DONG!”

“Ada apa? Terlalu cepat kah?”

“Enggak. Aku kaget! Kamu gak ngomong.”

“Surpriseeee.” Ucapan Marcell mendapat pukulan dibahunya cukup keras.

“Sakit, Sayang. Bukan hanya undangan saja yang sudah siap, tetapi gedung dan busana pun sudah siap. Kamu sudah tinggal duduk saja.”

Haekhal menggeleng-geleng, sungguh Marcell ini— ia sampai tidak dapat bicara lagi saking senangnya.

Ia beruntung memiliki Marcell, meski belum memiliki sepenuhnya, tetapi tetap saja Haekhal beruntung sekali mempunyai dan memiliki pendamping hidup seperti Marcello Artarendra.

“Makasih ya, Abang.” Hanya itulah yang dapat keluar dari mulut Haekhal, padahal banyak sekali yang ingin ia ucapkan tetapi hanya tersimpan di tenggorokan.

“Terimakasih kembali, Sayang.”

Harenza dan Calio sedang berada diruang makan sedang makan brownies yang Harenza buat tadi pagi. Tak lama pintu rumah kebuka menampilkan sesosok kepala keluarga yang terlalu kuat bekerja seharian. Meldrick pulang dari kantor setelah seharian tidak pulang.

Saat kepala keluarga itu memasuki rumah, anak kecil berusia satu tahun itu berlari lalu memeluk tubuh yang besar nan kuat milik Meldrick.

“Aduh anak Papah, kangen ya sama Papah? Kakak lagi apa, Nak?”

“Mam brownies sama Yayah!” Ucap anak kecil itu riang.

Berbeda lagi dengan Harenza yang terlihat tidak terganggu dengan acara rindu dari anak dan suaminya. Harenza yang biasanya menyambut kini terlihat tidak peduli. Harenza yang biasanya terlihat senang saat suaminya pulang kini dadanya sangat sakit saat melihat wajah lelah suaminya.

Harenza melamun sambil menyuapkan brownies coklat kedalam mulutnya sampai-sampai ia tidak sadar bahwa suaminya sudah duduk didepannya sambil memangku anaknya.

“Za.”

Lamunan Harenza buyar. Harenza butuh ngobrol dengan suaminya. Ia memanggil asisten rumah tangganya untuk membawa anaknya itu bermain, ia tidak mau anaknya mendengar pembicaraan yang seharusnya tidak ia dengar.

“Jajan aja gih,” Harenza menyodorkan dua lembar kertas merah seharga seratus ribu jika dua berarti dua ratus ribu.

“Jajannya tolong jangan sembarangan ya, Mbak.” Amanatnya kepada asisten rumah tangga yang sehari-hari ia panggil Mbak Ayu.

Mbak Ayu dan Calio sudah keluar dari rumah, tetapi Harenza masih terdiam tidak bergeming, masih membungkam mulutnya rapat-rapat. Harenza menggigit bibirnya untuk menahan tangisannya.

“Chat gue gak dibales, gak ada kabar. Ngapain aja?”

Ucapan itu lolos dari mulut Meldrick yang tidak tau bahwa Harenza sedang runtuh. Tanpa sadar dan tanpa niat, Meldrick kembali melukai hati Harenza, lagi dan lagi. Dengan mata yang berlinang air mata, yang dengan sekali kerjapan air mata itu akan runtuh membasahi pipinya, Harenza menatap mata tajam milik suaminya.

“Lo sebenarnya masih sayang sama gue apa enggak sih, Mel?” Ucap Harenza dengan dada yang bergemuruh, dengan air mata yang mengalir, ia menundukkan kepalanya, ia tidak ingin menatap wajah suaminya. Harenza menyeka air matanya dengan kasar, ia rutuki dirinya karena terlalu lemah.

“Apasih? Kenapa? Gue gak ngerti apa maksud lo.”

Harenza tersenyum walau air mata itu terus menerus menetes.

“Kemarin saat gue tau lo mabok gak sadarkan diri, gue panik, Mel, demi Tuhan gue panik banget. Gue tinggalin Calio dirumah sama Mbak, gue biarin Calio nangis ngeraung-raung karena gue tinggal. Tangan gue gemeter, Mel, saking takutnya,” Harenza menghela napasnya, sesak didadanya terus menyerangnya seperti ia tidak diizinkan untuk bernapas.

“Gue gak pikir panjang buat nyetir mobil sendiri, yang gue pikirin gimana caranya gue gak lama sampe dikantor lo. Gue gak peduli dengan tangan gue yang gemetar minta ampun. Perlu perjuangan buat sampai dikantor lo, gue panik nyari lo. Sampai diruangan lo, hati gue tambah sakit pas liat lo pingsan,”

“Gue kira lo mau pulang sama gue, gue kira lo mau dengerin kata-kata gue yang nyuruh lo buat gak lagi ngelakuin hal itu, ternyata yang gue dapetin adalah usiran dari lo, yang gue dapetin adalah sikap gak peduli lo. Demi Tuhan, Mel, hati gue sakit banget.”

Meldrick hatinya seperti ditusuk tombak besar, sakit sekali saat mendengar tuturan Harenza. Meldrick gila kerja, ia paham itu. Kemarin ia kira bahwa suaminya itu tidak apa-apa, ternyata suaminya itu tidak sekuat yang Meldrick bayangkan. Meldrick meneteskan air matanya, ia sangat merasa bersalah terhadap suaminya. Ia menghampiri Harenza, ia memeluk tubuh Harenza yang bergetar.

Kaki Meldrick sangat lemas sehingga ia tidak berkuat untuk menegakkan dirinya, ia terduduk dilantai, tangannya menggenggam tangan Harenza dengan erat, ia kecupi tangan itu.

“Sayang, maafin aku, aku minta maaf, maaf udah nyakitin hati kamu.” Meldrick menangis dengan tersedu-sedu dikaki Harenza. Harenza tidak peduli, ia menarik napasnya panjang.

“Sampai-sampai gue mikir, Mel, lo itu sebenarnya masih sayang gak ya sama gue, kok kayak gitu banget.” Ia lanjutkan bicaranya, tak peduli bahwa kata yang keluar dari mulutnya bergetar.

Meldrick mengangguk, “Sayang. Aku sayang banget sama kamu, maafin aku, Za, maafin Papah ya.”

Harenza membuang mukanya, ia tidak mau menatap suaminya yang sama hancurnya. Ia tidak peduli dengan pahanya yang sudah basah akibat air mata suaminya, ia tidak peduli dengan tangan yang sejak tadi bertemu dengan bibir suaminya.

“Kerjaan kapan aja bisa ninggalin lo, Mel, tapi gue enggak, karena gue gabisa tanpa lo. Demi Tuhan, Mel, gue gabisa hidup tanpa lo yang sejak lima tahun terakhir udah jadi sandaran serta rumah gue. Tolong, Mel, tolong jangan kayak gitu lagi, hati gue sakit.”

Meldrick mengangguk dengan cepat, ia kembali memeluk tubuh rapuh Harenza, ia memeluk tubuh suaminya yang sudah ia buat luka, ia janji setelah ini ia akan menyembuhkan luka Harenza.

“Maafin aku, Za, aku gak berniat buat nyakitin kamu.”

Harenza tersenyum, ia mengangguk, tentu saja ia memaafkan suaminya, ia lihat dari mata dan wajah Meldrick, suaminya itu sangat merasa bersalah.

Harenza menggenggam tangan Meldrick, ia kecup tangan suaminya. Lalu tangannya beralih untuk merapihkan rambut basah suaminya, ia usap kepala suaminya dengan kasih sayangnya, ia tersenyum dengan sangat tulus dan manis saat melihat wajah suaminya. Ia mengusap wajah suaminya dengan lembut pula dengan kasih sayangnya.

Sayangnya Harenza kepada Meldrick tidak akan pernah berkurang sedikitpun, Harenza akan terus mencintai dan menyayangi Meldrick sampai mati, ia sudah berjanji kepada Tuhan akan terus bersama Meldrick, maka ia harus menepati janjinya.

“Gapapa, Mel, gapapa. Aku cuma mau ngasih tau kamu aja gimana lemahnya aku, aku gak sekuat itu, Mel, maaf ya. Tolong jangan diulangi, tolong jangan sakitin hati aku lagi, ya.”

Meldrick tidak dapat bicara, karena hatinya sangat sakit saat kembali mendengar suara lembut suaminya. Harenza sangat baik hatinya, ia sering sekali menyakiti Harenza, tetapi tetap saja rasa sayang Harenza tidak akan berkurang kepadanya.

Meldrick merasa bersalah, merasa bersalah telah menyakiti sosok yang baik hatinya, sosok yang akan membuat dirinya sangat amat menyesal jika tidak lagi bersamanya.

“Berdiri, Mel. Aku kangen kamu.”

Keduanya berdiri dengan tangan yang masih bertaut, keduanya saling menguatkan dengan tautan tangan itu, keduanya berdiri dengan saling menguatkan.

Sama halnya dengan Meldrick dan Harenza, keduanya saling membutuhkan satu sama lain, jika salah satunya ada yang terluka pasti yang satunya akan ikut terluka, pun juga bahagia, jika salah satunya ada yang bahagia, pasti yang satunya akan ikut bahagia.

Keduanya sama-sama manusia lemah yang jika disatukan akan menjadi kuat.

Keduanya berpelukan dengan sesak yang kian lama kian berganti menjadi lega.

— fin.

Written by brownieszt

“Kakak, nanti nyanyi happy birthday buat Yayah, ya, yang udah Papah ajarin kemarin, oke?” Saat ini Meldrick dan Calio— sang anak sedang berbisik-bisik diruang tamu. Meldrick membawa kue besar dengan lilin angka 28 sedangkan Calio membawa bunga matahari yang cantik.

Meldrick tidak lupa akan hari bahagia Harenza, tidak mungkin ia melupakan itu, Meldrick hanya ingin membuat kejutan saja pada hari bahagia Harenza.

Meldrick sedang berusaha menghidupkan lilin angka itu dengan korek api.

Saat angka 28 itu menyala, Meldrick cepat-cepat mengajak Calio untuk naik menuju kamar Harenza.

“Kakak, buka pintunya, bisa?”

“Bisaaaa.” Jawab sang anak riang.

Saat pintu itu berhasil kebuka, anak kecil berusia 1 tahun itu menyanyikan lagu ulang tahun dengan sangat heboh, membuat Harenza yang sedang asik tiduran berjengit kaget.

Harenza terduduk dipinggir ranjang menatap sang suami dan sang anak yang sangat romantis membuat kejutan sederhana yang membuatnya tidak akan melupakannya seumur hidup. Tanpa sadar air mata mengalir dari ujung mata Harenza, ia melihat anaknya yang sangat pintar menyanyikan lagu ulang tahun.

“Tiup lilinnya, tiup lilinya, tiup lilinya sekarang juga! Sekarang jugaaaa~ Sekarang jugaaa~”

“Ayo tiup bareng-bareng.”

Ketiganya bersama-sama meniup angka 28 yang sudah hampir habis.

“Selamat ulang tahun Yayahhhh~” Calio memeluk perut besar Harenza dengan sangat erat, Harenza mengusap rambut Calio lalu mengecupnya.

“Happy birthday, Sayang, maaf ya udah buat kamu sedih hari ini, aku gak akan pernah lupa sama hari bahagia kamu. Selamat bertambah umur, Cintanya Meldrick. Semoga panjang umur.”

“Aamin.” Saat Meldrick mengucapkan doa, Harenza mengenggam tangannya dan mengucapkan aamin, semoga saja doa sang suami dapat terkabul.

“Sehat-sehat terus.”

“Aamin.”

“Lancar sampai lahiran.”

“Aamin.”

“Semoga semakin tua gak semakin galak.”

“A— anjing.”

Harenza mengatupkan bibirnya, karena ia tanpa sadar mengucapkan kata kasar didepan sang anak.

“Terimakasih ya, sayang-sayangnya Yayah. Sini peluk Yayah.” Harenza membuka tangannya mempersilahkan Meldrick untuk masuk dalam pelukan hangatnya.

Meldrick menaruh kue diatas nakas sebelah ranjang. Ia berjongkok menyamakan tingginya dengan perut Harenza. Ia mengecup perut Harenza berkali-kali.

“Sehat-sehat ya, Kembar. Papah, Yayah, Kakak disini nunggu kalian, sampai jumpa empat bulan lagi, Nak.”

Harenza mengelus rambut Meldrick dengan lembut.

Ketiganya saling berpelukan, saling menyalurkan kasih sayangnya satu sama lain.

Written by brownieszt