Hubungan kalian selalu baik 'kan, Nak?
“Mampus.” Umpat Dipa saat melihat mobil terparkir di garasi rumahnya, itu adalah mobil milik Bunda-nya yang bertanda mertua dan Bunda nya sudah berada di rumahnya. Untung saja Dipa tadi menyempatkan diri untuk membeli pecel ayam, sekiranya itu dapat menjadi alasannya keluar, karena tadi ia bilang bahwa ia berada di rumah.
Tak lama mobil hitam mewah itu memasuki garasi rumahnya, garasi rumah Dipa cukup besar hingga muat untuk banyak mobil dan motor. Dipa tau betul itu adalah mobil milik suaminya, Ian.
Dipa menunggu Ian selesai parkir dan tak lama Ian keluar dari mobil membawa se kresek camilan. Dipa bernapas lega ternyata sebelum pulang Ian membaca grup terlebih dahulu.
“Untung aja lo baca grup.”
“Tenang aja, Dipaaa. Ayo masuk, pasti kita udah di tunggu Mamah sama Bunda.” Ian mengenggam tangan dingin Dipa, Ian paham kalau Dipa sedikit gugup karena ingin bertemu sang ibu dan mertuanya, ia hanya takut pertanyaan-pertanyaan aneh tentang hubungan pernikahannya.
“Dip... Are you okay?” Ian bertanya karena tangan Dipa sangat dingin dan berkeringat. Dipa menatap Ian lalu tersenyum tipis, ia menganggukan kepalanya pelan, menandakan bahwa ia tidak apa-apa.
“Ian, ayo hadapin bersama-sama.” Ian tersenyum tulus, matanya menatap lawan bicaranya dengan sangat dalam. “Iya, Dipa, jangan khawatir, ya. Ada aku di sini.”
Ian membuka pintu besar yang berdiri megah. Keduanya tersenyum lalu berjalan beriringan dengan tangan yang terus bertaut. Keduanya sudah siap akan semua pertanyaan yang akan di lemparkan pada keduanya.
Keduanya sampai pada ruang keluarga. Mamah dan Bunda yang duduk di sofa menatap anak dan menantunya yang berdiri berdua dengan tangan yang bertaut, keduanya tersenyum.
“Aduh-aduh dasar penganten baru. Itu tangan ada lem nya, ya?” Bunda terkekeh sendiri karena ucapannya. Semua yang ada di sana terkekeh, termasuk Ian dan Dipa, walau tawanya sangat dipaksakan.
“Oh iya tadi aku beli pecel ayam kesukaan Bunda dan Mamah. Ayo, Bun, Mah ke ruang makan, kita makan. Pasti belum pada makan 'kan?”
“Wih tau aja Mamah belum makan.” Senyuman Mamah mengembang saat melihat dua kantung kresek yang di bawa Dipa.
Dipa berjalan menuju ruang makan. Menyiapkan semuanya sendiri, tanpa bantuan siapapun, bahkan Bi Tari yang ingin membantu pun ia tolak karena ingin caper pada mertua dan sang ibu.
“Dipta rajin banget, ya? Kamu pasti bahagia banget hidup sama Dipta.” Bisik Mamah pada Ian, sang anak. Yang dapat di dengar oleh Ian dan Bunda.
“Wah bukan lagi, Mah, setiap hari Ian merasa bahagia dan beruntung karena telah menikahkan Dipa.” Ian tersenyum menatap Dipa yang sibuk mengambil piring lalu menaruh potongan ayam di piring.
“Kemari, Mah, Bun. Sudah siap semua, ayo kita makan!” Teriak Dipa riang. Membangkitkan semangat pada manusia di sana. Mamah, Bunda dan Ian beranjak dari sofa lalu berjalan menuju ruang makan.
“Terimakasih, Sayang, sudah menghidangkan.” Dipa yang mendengar ucapan Ian sangat kaget karena tiba-tiba saja Ian memanggilnya dengan kata 'sayang' yang sebelumnya belum pernah di ucapkan oleh Ian. Dipa tersenyum kaku mendengarnya sedangkan Mamah dan Bunda yang mendengarkan kalimat romantis anaknya turut tersenyum bahagia.
“Aku cuma menyiapkan, enggak memasaknya.”
“Tetap saja. Terimakasih, ya, Dipa ku.”
“Cukup, Ian. Malu sama Bunda dan Mamah.” Ucap Dipa dengan warna merah di pipinya yang sangat menggemaskan. Ian terkekeh melihat Dipa yang sedang salah tingkah. Ian menggunakan kesempatan ini dengan sangat baik, karena ia sudah memimpikan hal ini terjadi walau hanya dilakukan di depan orang tua nya saja. Tapi Ian yakin, suatu hari nanti keduanya tidak akan pernah pura-pura lagi di depan orang tua nya seperti ini.
“Enggak apa-apa, Dipta, Bunda dan Mamah paham. Kami juga pernah muda.” Ucap Mamah dengan senyumannya yang tidak jauh dengan meledek dirinya yang sedang salah tingkah.
Dipa tersenyum mendengarnya, “Ayo di makan, Mah, Bun. Semoga saja enak, soalnya warung baru di depan komplek.”
Dipa melihat kedua wanita paruh baya yang masih tetap cantik itu sedang asik makan. Dipa menatap Ian yang duduk di depannya, Ian ternyata sedang menatapnya, tatapannya selalu sama, tatapan yang sangat dalam dan tulus, Dipa selalu jatuh dengan tatapan itu. Ian tersenyum karena tatapannya tertangkap oleh Dipa, sedangkan Dipa hanya menatap sinis pada Ian seperti sedang memberi ancaman pada Ian. Ian tau pasti karena dirinya memanggil Dipa dengan panggilan 'sayang' Ian terkekeh pelan melihat tatapan Dipa.
“Hubungan kalian selalu baik 'kan, Nak?” Tanya Bunda secara tiba-tiba. Membuat Dipa yang sedang makan langsung tersedak. Ian sebagai suami sigap langsung menyodorkan minumnya kepada Dipa dan langsung di terima dengan baik oleh Dipa.
“Kenapa kaget gitu dengarnya?” Tanya Bunda, lagi. Karena merasa bingung Dipa seperti merasa kaget dengan pertanyaanya.
“Kok pakai nanya sih, say, ya pasti selalu baik lahhh.” Yang menjawab adalah Mamah. Mamah yakin sekali hubungan anak dan menantunya itu selalu baik.
“Iya, Bun. Mamah betul. Hubungan kita selalu baik. Rasa sayang Ian ke Dipa selalu bertambah setiap detik, bahkan Ian ingin sekali mengucapkan Ian mencintai Dipa setiap detik.” Ucap Ian yang kembali membuat Dipa terkejut mendengarnya.
Mamah dan Bunda tersenyum puas mendengar jawaban Ian. Karena keduanya merasa lega mendengarnya.
“Bunda kira akan sulit dengan cinta di perjodohan. Ternyata gampang, ya, membuat kalian jatuh cinta satu sama lain.”
“Kami sudah mengenal sejak kecil, Bun. Enggak mungkin kami enggak pernah merasakan jatuh cinta satu sama lain sebelumnya.” Ian kembali menjawab. Sedangkan Dipa hanya sibuk menghabiskan minum yang ada di gelas dengan pikiran yang sangat sibuk memikirkan ucapan Ian yang tadi terlontarkan begitu saja. Dipa yakin itu pasti ucapan yang ada di hatinya karena Ian lancar sekali menjawabnya tanpa ada nada kebohongan diucapannya.
“Mamah dan Bunda lega mendengarnya, Nak. Akur terus, ya, kalau ada masalah hadapi bersama.” Nasihat Mamah kepada Ian dan Dipa.
“Dip? Tidur gih udah malam. Gue biar tidur di sofa aja. Pasti lo enggak betah 'kan ada gue di sini.” Ian mendudukan dirinya di sofa yang letaknya tidak jauh dari ranjang Dipa. Dipa hanya diam, dirinya menatap foto pernikahan yang ada di dinding kamarnya. Dipa melihat senyuman keduanya sangat merekah mengalahkan matahari yang bersinar siang itu.
“Ian, senyumnya kenapa seperti terlalu bahagia? Padahal gue di sana hanya berpura-pura bahagia.” Ian menatap Dipa lalu mengikuti arah penglihatan Dipa, foto pernikahannya. Hati Ian sakit, seperti di pukul beribu manusia saat mendengar kalau manusia yang sangat ia sayangi itu hanya berpura-pura bahagia saat hari bahagianya.
“Hahaha. Tapi gue di sana enggak berpura-pura, Dip.” Senyum Ian menatap Dipa yang sontak menatapnya.
“Maksudnya?”
“Enggak. Ayo tidur. Matiin lampunya, ya. Udah larut.” Ian beranjak dari duduknya menuju saklar lampu yang letaknya di dekat ranjang.
“Ian.”
“Iya, Dipa?”
“Sini.”
“Maksudnya?”
“Jangan tidur di sofa nanti badannya sakit-sakit, enggak enak. Tidur di ranjang aja sama gue.” Ian sangat kaget mendengar pinta Dipa. Tidak bohong kalau dirinya sangat senang saat mendengarnya.
“Boleh, Dip?”
Dipa tidak menjawab dengan kata tapi Ian langsung mengerti dengan anggukan yang di beri Dipa.
Saat lampu itu berhasil di matikan oleh Ian. Dalam kegelapan, Ian tersenyum menang. Perutnya seperti ada kupu-kupu yang sangat banyak berterbangan di perutnya membuat dirinya sangat geli. Ian tau betul perasaan ini.
Ian meloncat pada ranjang lalu memeluk Dipa dengan sangat erat, membuat Dipa berteriak dan memukul tubuh Ian.
“Ian anjing! Anjinggg Ian. Enggak usah peluk-peluk, bangsat! Geli anjing. Pergi lo.” Pukulan demi pukulan yang Dipa berikan pada tubuh Ian tetapi tidak membuat Ian melepaskan pelukan eratnya pada tubuh Dipa. Pelukannya sangat hangat, Ian suka, juga ternyata Dipa suka dengan perasaan ini.
Dipa lelah karena selalu berontak, alhasil ia hanya pasrah di peluk erat oleh Ian, tidak apa-apa 'kan? Ian suaminya, tidak apa-apa dong. Dipa mengulurkan tangannya membalas pelukan Ian.
“Dipa, gue pengin setiap hari seperti ini. Boleh enggak?” Tanya Ian kepada Dipa. Dipa hanya diam, berpura-pura sudah tidur padahal ia hanya bingung dengan jawaban yang akan melengkapi pertanyaan Ian. Gengsi, denial terus menggerogoti hati Dipa.
Written by brownieszt.