Maaf

Harenza dan Calio sedang berada diruang makan sedang makan brownies yang Harenza buat tadi pagi. Tak lama pintu rumah kebuka menampilkan sesosok kepala keluarga yang terlalu kuat bekerja seharian. Meldrick pulang dari kantor setelah seharian tidak pulang.

Saat kepala keluarga itu memasuki rumah, anak kecil berusia satu tahun itu berlari lalu memeluk tubuh yang besar nan kuat milik Meldrick.

“Aduh anak Papah, kangen ya sama Papah? Kakak lagi apa, Nak?”

“Mam brownies sama Yayah!” Ucap anak kecil itu riang.

Berbeda lagi dengan Harenza yang terlihat tidak terganggu dengan acara rindu dari anak dan suaminya. Harenza yang biasanya menyambut kini terlihat tidak peduli. Harenza yang biasanya terlihat senang saat suaminya pulang kini dadanya sangat sakit saat melihat wajah lelah suaminya.

Harenza melamun sambil menyuapkan brownies coklat kedalam mulutnya sampai-sampai ia tidak sadar bahwa suaminya sudah duduk didepannya sambil memangku anaknya.

“Za.”

Lamunan Harenza buyar. Harenza butuh ngobrol dengan suaminya. Ia memanggil asisten rumah tangganya untuk membawa anaknya itu bermain, ia tidak mau anaknya mendengar pembicaraan yang seharusnya tidak ia dengar.

“Jajan aja gih,” Harenza menyodorkan dua lembar kertas merah seharga seratus ribu jika dua berarti dua ratus ribu.

“Jajannya tolong jangan sembarangan ya, Mbak.” Amanatnya kepada asisten rumah tangga yang sehari-hari ia panggil Mbak Ayu.

Mbak Ayu dan Calio sudah keluar dari rumah, tetapi Harenza masih terdiam tidak bergeming, masih membungkam mulutnya rapat-rapat. Harenza menggigit bibirnya untuk menahan tangisannya.

“Chat gue gak dibales, gak ada kabar. Ngapain aja?”

Ucapan itu lolos dari mulut Meldrick yang tidak tau bahwa Harenza sedang runtuh. Tanpa sadar dan tanpa niat, Meldrick kembali melukai hati Harenza, lagi dan lagi. Dengan mata yang berlinang air mata, yang dengan sekali kerjapan air mata itu akan runtuh membasahi pipinya, Harenza menatap mata tajam milik suaminya.

“Lo sebenarnya masih sayang sama gue apa enggak sih, Mel?” Ucap Harenza dengan dada yang bergemuruh, dengan air mata yang mengalir, ia menundukkan kepalanya, ia tidak ingin menatap wajah suaminya. Harenza menyeka air matanya dengan kasar, ia rutuki dirinya karena terlalu lemah.

“Apasih? Kenapa? Gue gak ngerti apa maksud lo.”

Harenza tersenyum walau air mata itu terus menerus menetes.

“Kemarin saat gue tau lo mabok gak sadarkan diri, gue panik, Mel, demi Tuhan gue panik banget. Gue tinggalin Calio dirumah sama Mbak, gue biarin Calio nangis ngeraung-raung karena gue tinggal. Tangan gue gemeter, Mel, saking takutnya,” Harenza menghela napasnya, sesak didadanya terus menyerangnya seperti ia tidak diizinkan untuk bernapas.

“Gue gak pikir panjang buat nyetir mobil sendiri, yang gue pikirin gimana caranya gue gak lama sampe dikantor lo. Gue gak peduli dengan tangan gue yang gemetar minta ampun. Perlu perjuangan buat sampai dikantor lo, gue panik nyari lo. Sampai diruangan lo, hati gue tambah sakit pas liat lo pingsan,”

“Gue kira lo mau pulang sama gue, gue kira lo mau dengerin kata-kata gue yang nyuruh lo buat gak lagi ngelakuin hal itu, ternyata yang gue dapetin adalah usiran dari lo, yang gue dapetin adalah sikap gak peduli lo. Demi Tuhan, Mel, hati gue sakit banget.”

Meldrick hatinya seperti ditusuk tombak besar, sakit sekali saat mendengar tuturan Harenza. Meldrick gila kerja, ia paham itu. Kemarin ia kira bahwa suaminya itu tidak apa-apa, ternyata suaminya itu tidak sekuat yang Meldrick bayangkan. Meldrick meneteskan air matanya, ia sangat merasa bersalah terhadap suaminya. Ia menghampiri Harenza, ia memeluk tubuh Harenza yang bergetar.

Kaki Meldrick sangat lemas sehingga ia tidak berkuat untuk menegakkan dirinya, ia terduduk dilantai, tangannya menggenggam tangan Harenza dengan erat, ia kecupi tangan itu.

“Sayang, maafin aku, aku minta maaf, maaf udah nyakitin hati kamu.” Meldrick menangis dengan tersedu-sedu dikaki Harenza. Harenza tidak peduli, ia menarik napasnya panjang.

“Sampai-sampai gue mikir, Mel, lo itu sebenarnya masih sayang gak ya sama gue, kok kayak gitu banget.” Ia lanjutkan bicaranya, tak peduli bahwa kata yang keluar dari mulutnya bergetar.

Meldrick mengangguk, “Sayang. Aku sayang banget sama kamu, maafin aku, Za, maafin Papah ya.”

Harenza membuang mukanya, ia tidak mau menatap suaminya yang sama hancurnya. Ia tidak peduli dengan pahanya yang sudah basah akibat air mata suaminya, ia tidak peduli dengan tangan yang sejak tadi bertemu dengan bibir suaminya.

“Kerjaan kapan aja bisa ninggalin lo, Mel, tapi gue enggak, karena gue gabisa tanpa lo. Demi Tuhan, Mel, gue gabisa hidup tanpa lo yang sejak lima tahun terakhir udah jadi sandaran serta rumah gue. Tolong, Mel, tolong jangan kayak gitu lagi, hati gue sakit.”

Meldrick mengangguk dengan cepat, ia kembali memeluk tubuh rapuh Harenza, ia memeluk tubuh suaminya yang sudah ia buat luka, ia janji setelah ini ia akan menyembuhkan luka Harenza.

“Maafin aku, Za, aku gak berniat buat nyakitin kamu.”

Harenza tersenyum, ia mengangguk, tentu saja ia memaafkan suaminya, ia lihat dari mata dan wajah Meldrick, suaminya itu sangat merasa bersalah.

Harenza menggenggam tangan Meldrick, ia kecup tangan suaminya. Lalu tangannya beralih untuk merapihkan rambut basah suaminya, ia usap kepala suaminya dengan kasih sayangnya, ia tersenyum dengan sangat tulus dan manis saat melihat wajah suaminya. Ia mengusap wajah suaminya dengan lembut pula dengan kasih sayangnya.

Sayangnya Harenza kepada Meldrick tidak akan pernah berkurang sedikitpun, Harenza akan terus mencintai dan menyayangi Meldrick sampai mati, ia sudah berjanji kepada Tuhan akan terus bersama Meldrick, maka ia harus menepati janjinya.

“Gapapa, Mel, gapapa. Aku cuma mau ngasih tau kamu aja gimana lemahnya aku, aku gak sekuat itu, Mel, maaf ya. Tolong jangan diulangi, tolong jangan sakitin hati aku lagi, ya.”

Meldrick tidak dapat bicara, karena hatinya sangat sakit saat kembali mendengar suara lembut suaminya. Harenza sangat baik hatinya, ia sering sekali menyakiti Harenza, tetapi tetap saja rasa sayang Harenza tidak akan berkurang kepadanya.

Meldrick merasa bersalah, merasa bersalah telah menyakiti sosok yang baik hatinya, sosok yang akan membuat dirinya sangat amat menyesal jika tidak lagi bersamanya.

“Berdiri, Mel. Aku kangen kamu.”

Keduanya berdiri dengan tangan yang masih bertaut, keduanya saling menguatkan dengan tautan tangan itu, keduanya berdiri dengan saling menguatkan.

Sama halnya dengan Meldrick dan Harenza, keduanya saling membutuhkan satu sama lain, jika salah satunya ada yang terluka pasti yang satunya akan ikut terluka, pun juga bahagia, jika salah satunya ada yang bahagia, pasti yang satunya akan ikut bahagia.

Keduanya sama-sama manusia lemah yang jika disatukan akan menjadi kuat.

Keduanya berpelukan dengan sesak yang kian lama kian berganti menjadi lega.

— fin.

Written by brownieszt