rumah

“Masuk duluan gih, saya ingin mengambil koper yang ada dimobil.” Ucap Marcell sambil menunjukan seluruh giginya, Marcell tersenyum menatap Haekhal yang sedang menelusuri rumah yang berdiri megah.

Haekhal mengangguk, lalu ia berjalan menuju pintu besar. Dilihat dari depan, rumah ini berkonsep sederhana tetapi megah, jelas sekali dari depan Haekhal dapat merasakan kenyamanan didalamnya.

Haekhal membuka pintu itu. Pada saat memasuki rumah, Haekhal menelusuri seluruh rumahnya yang bernuansa coklat. Adem dan nyaman sekali saat memasuki rumah.

“Suka?” Ucap Marcell dari belakang Haekhal dengan menarik dua koper. Haekhal mengangguk ribut saat mendengar pertanyaan itu.

“Ayo kita lihat kamar.” Marcell meraih pinggang Haekhal, lalu mengajaknya berjalan keatas.

Haekhal tidak dapat bicara apapun, ia membungkam mulutnya rapat-rapat, perasaan bingung dan senang Haekhal membuncah sehingga membuat dirinya terdiam membeku dan hanya mengikuti arahan dari Marcell.

Ini rumahnya? Rumah yang akan menjadi tempat ia pulang? Kurang lebih seperti itu yang ada didalam pikiran Haekhal.

Sebenarnya Haekhal tidak menuntut Marcell untuk memberikan rumah megah dan besar seperti ini, Haekhal hanya ingin rumah sederhana dan nyaman yang bisa menjadi tempatnya pulang. Tetapi Haekhal tetap bersyukur, ia senang sekali, ini melebihi ekspektasinya.

Tak sadar keduanya sudah terduduk diatas ranjang empuk dikamar utama; yang akan menjadi tempat keduanya nanti bertukar cerita. Kamar utama Marcell dan Haekhal.

“Kamar ini yang akan menjadi saksi kita berdua. Saksi dimana kita nanti saling mencintai satu sama lain.” Pipi Haekhal memerah saat mendengar tuturan Marcell, Haekhal tau jalan pikiran Marcell.

Marcell merapatkan tubuh keduanya, ia menempatkan wajahnya dileher Haekhal, lalu ia kecup leher itu.

“Rumah ini untuk kamu.”

“Kita, Bang.” Sangkal Haekhal dengan cepat, jelas saja rumah ini bukan miliknya tetapi milik mereka berdua.

“Saya hadiahkan untuk kamu yang sudah menerima ajakan saya untuk berani.”

“Rumah ini juga untuk Abang, karena Abang udah ngajak aku untuk berani.” Haekhal mengembalikan ucapan Marcell.

Tubuh keduanya bertaut.

“Saya mencintaimu, Haekhal.”

“Aku lebih, Bang.”

Cinta yang membawa keduanya sampai sini.


“Kamu suka?” Tanya Marcell kepada Haekhal sambil menunjukan foto undangan yang sudah tertera nama dan tanggal disana. Marcell sudah menyiapkan semuanya, dari undangan hingga gedung, Marcell sendiri yang menyiapkan, tanpa bilang kepada Haekhal. Ingin membuat kejutan, katanya.

Saat ini Marcell dan Haekhal sedang duduk santai diruang tengah dengan teh yang tersaji hangat diatas meja.

Haekhal menatap Marcell bingung, alisnya bertaut. Haekhal menunjuk tanggal itu dengan jari telunjuknya.

“Tanggal dua puluh dua?”

Marcell mengangguk dengan senyum yang tidak akan pernah luntur jika menatap kekasihnya yang ada didepan matanya ini.

“ABANG YANG BENER AJA DONG!”

“Ada apa? Terlalu cepat kah?”

“Enggak. Aku kaget! Kamu gak ngomong.”

“Surpriseeee.” Ucapan Marcell mendapat pukulan dibahunya cukup keras.

“Sakit, Sayang. Bukan hanya undangan saja yang sudah siap, tetapi gedung dan busana pun sudah siap. Kamu sudah tinggal duduk saja.”

Haekhal menggeleng-geleng, sungguh Marcell ini— ia sampai tidak dapat bicara lagi saking senangnya.

Ia beruntung memiliki Marcell, meski belum memiliki sepenuhnya, tetapi tetap saja Haekhal beruntung sekali mempunyai dan memiliki pendamping hidup seperti Marcello Artarendra.

“Makasih ya, Abang.” Hanya itulah yang dapat keluar dari mulut Haekhal, padahal banyak sekali yang ingin ia ucapkan tetapi hanya tersimpan di tenggorokan.

“Terimakasih kembali, Sayang.”