Dua manusia yang penuh luka.

Kaki Biru melemas saat melihat mantan suaminya yang sedang terduduk dengan senyuman yang tiba-tiba saja tersungging diwajah Langit.

Langit tersenyum saat melihat Birunya disana, Birunya yang masih peduli dengannya, Birunya yang sudah ia buat luka itu masih khawatir dengan keadaanya, manusia yang sangat baik hatinya ada pada diri Biru.

Biru mendekati tubuh Langit yang penuh luka dan darah, ia seperti tidak diizinkan untuk berpikir, Biru hanya terdiam melihat tubuh Langit penuh luka.

“Cukup adil, Dek, lukanya bukan di hati doang tapi di badan juga, haha.” Ucap Langit dengan kekehan di akhir, membuat Biru sangat ingin memeluknya dan kembali pada Langit.

“Ayo ke rumah sakit, Mas.”

“Mas mau nikmati sakitnya, sakitnya tidak sesakit luka Adek yang Mas ukir indah dalam hati Adek. Luka ini gak seberapa dengan luka Adek, Mas gak apa.” Senyumnya tersungging indah pada bibir Langit. Senyum yang sudah hilang selama satu tahun, kini kembali saat melihat Biru, lelaki yang sangat ia rindukan hadirnya.

Biru terbeku saat melihat senyum Langit, senyum yang tidak pernah ia lihat, senyumnya sangat tulus, senyumnya mampu membuat Biru sangat menyesal karena meninggalkannya sendiri menanggung luka yang ia tinggal.

Hidup Biru selama setahun ini mungkin tidak se sepi hidup Langit, tapi Biru tidak munafik, ia selalu merindukan Langit, kepalanya penuh dengan sosok Langit, telinganya selalu mendengar ucapan Langit, ia tanpa sadar selalu membayangkan Langit berada didekatnya. Sama dengan Langit, Biru hanya menginginkan Langit, Langit dan Langit.

Biru membawa tubuh Langit menuju Apartemennya yang sudah seminggu ini ia tinggali. Langit tidak mau dibawa ke rumah sakit, ia hanya ingin diobati oleh Biru. Apa boleh buat? Biru hanya bisa menuruti perkataan Langit.

Biru membiarkan Langit meniduri ranjang besarnya, mengobati luka Langit yang terbuka dengan telaten.

“Kenapa jadi gini, Mas? Kenapa terlalu menyerah?”

Langit terdiam, ia berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan dari Biru, sangat sulit menjawabnya, padahal sudah jelas yang buat dirinya menyerah adalah Biru, karena Biru tidak lagi menginginkannya, karena dirinya terlalu menyesal sudah menyia-nyiakan manusia baik seperti Biru.

Langit mengambil tangan Biru yang sedang sibuk mengobati lukanya, ia tatap mata biru lamat-lamat, ia seperti sedang menerawang apa yang sedang Biru rasakan, apa yang sedang Biru pikirkan, tetapi Biru terlalu misterius, rautnya yang terlalu datar sulit untuk ditebak.

“Mas terlalu menyesal. Cinta datangnya terlalu lambat, Dek. Mas merasakan itu saat Adek pergi dari kehidupan Mas, Mas merasakan itu saat Hakim sudah ketuk palu menyatakan kita sudah tidak ada hubungan lagi. Dek... Maaf... Mas mau Adek, mau Adek lagi, mau—”

“Dulu, kita ada pada waktu yang salah, Mas. Yang sudah berlalu biarkanlah berlalu.” Ucapan Langit, Biru potong. Hati Biru terlalu sakit saat mendengar tuturan Langit.

Biru mengambil kembali jari jemarinya yang Langit genggam erat. Biru tersenyum. Biru terlalu menikmati kesedihan dan lukanya. Biru menggeleng tiba-tiba mungkin untuk menjawab kalimat terakhir yang Langit ucapkan, tentang menginginkannya kembali. Biru tidak mau lagi di tipu.

“Mas akan bayar luka-luka Adek. Mas mau membalut luka-luka Adek. Mas mau Adek. Mas sayang Adek. Mas janji, Mas gak akan lagi buat Adek terluka seperti kemarin.” Satu tetes air mata lolos pada mata Langit. Air mata penuh penyesalan, air mata penuh luka, air mata penuh mohon.

Biru tidak tahan dengan sesaknya yang terus menerus menyerang dadanya, dadanya bergemuruh, air matanya mengalir saat melihat Langit menangis dan ucapan Langit yang mampu membuat Biru sangat sakit.

Biru takut, takut yang kemarin kembali terjadi, takut jika yang diucapkan sekarang oleh Langit penuh dengan kebohongan, takut jika ia harus kembali terluka, takut, Biru sangat takut, Biru penuh ketakutan, sekarang.

Tapi ketakutan itu seperti tersihir untuk pergi saat Biru mendekap tubuh Langit dan merasakan tubuh Langit yang sangat bergetar hebat saat ia memeluknya. Usapannya pada punggung Langit untuk meredakan gemetar tubuh Langit.

Keduanya adalah manusia penuh luka yang saling membutuhkan satu sama lain untuk membalut luka-lukanya dengan penuh kasih sayang.