Dipta sejak tadi terus mengaduk teh manis yang ada dicangkir, tidak sedikitpun ia minum bahkan yang tadinya hangat hingga asap terlihat mengepul itu pun tidak ada lagi dicangkir itu. “Diminum, jangan diaduk terus nanti tumpah.” Ucap wanita paruh baya yang sejak tadi duduk di depannya, mengamatinya dengan tatapan khawatir.
Dipta terus menunduk sambil mengaduk teh itu tak sadar bahwa air matanya meluluh hingga tercampur pada teh manisnya. Bunda tambah khawatir dengan anaknya, mengapa tiba-tiba seperti ini? Mengapa anaknya yang super duper kuat itu menjadi lemah? Mengapa anaknya yang setiap hari mendongakkan kepalanya kini menundukkan kepalanya? Mengapa? Mengapa? Dan mengapa? Banyak pertanyaan dikepala Bunda yang belum sempat keluar dari bibirnya yang cantik, Bunda memberi waktu Dipta untuk menenangkan dirinya terlebih dahulu.
Sedangkan Dipta bingung, mengapa ia sangat sedih saat ini? Mengapa air matanya terus menetes hingga sesak menyerang dadanya. Dipta terus kepikiran Gabrian, mungkin ini adalah air mata penyesalannya karena besar penyebab Dipta menangis adalah Gabrian, bukan karena Gabrian menyakitinya tapi karena dia yang sudah menyakiti Gabrian.
Bunda tak tahan hanya duduk diam memperhatikan anaknya yang sedang hancur. Bunda menghampiri Dipta, kini Bunda duduk di sebelah Dipta, merengkuh Dipta dengan sangat erat seolah Bunda memberikan semangat kepada anaknya tercinta yang sedang hancur.
Bunda menepuk-nepuk pundak Dipta lembut, mengusap kepala Dipta juga dengan lembut. “Menangislah, Nak, sampai lega. Bunda enggak akan ninggalin Dipta sendiri, Bunda di sini sama Dipta, mau nangis sampai malam pun pasti Bunda akan temenin. Tapi harus janji dulu sama Bunda, setelah lega, beritahu Bunda mengapa anak Bunda ini menangis. Ya, Nak?”
Dipta mengangguk lemah.
“Bun...” Panggilnya dengan sangat lemah, tenaganya seperti terkuras karena tangisannya.
“Iya, anakku?” Bunda beralih untuk mengambil posisi duduk di sebelah Dipta. Bunda menyeka air mata Dipta dengan lembut lalu tangannya menggenggam tangan Dipta untuk menyalurkan energi pada anaknya.
“Pernikahan itu berat banget, ya, Bun? Aku ternyata belum sanggup menerimanya.”
Bohong sekali jika Bunda tidak kaget dan tidak sakit hati saat mendengar tutur Dipta. Bunda menatap Dipta dengan tatapan yang sangat khawatir.
“Kenapa, Nak? Ada masalah sama Ian?”
“Bun, aku mau berhenti tapi enggak mau Ian pergi.” Ia bingung, ia ingin sekali mengakhiri ini semua tapi ia tidak mau jika Ian pergi dan tidak peduli lagi dengannya. Bagaimana ini? Dipta harus apa?
“Kenapa harus menikah, Bun? Kenapa keinginan Bunda dan Ayah itu menikahkanku pada temanku yang dulu sering kali berbagi es krim kepadaku? Kenapa harus menikah, Bun? Kenapa enggak menuntut aku untuk kuliah dengan benar dan mencapai gelar sarjanaku? Kenapa, Bun?” Lanjut Dipta diiringi dengan air mata yang kerap kali menetes dengan deras.
Bunda seperti tersambar petir, hatinya sangat sakit mendengar keluhan anaknya. Ia juga bertanya pada dirinya sendiri kenapa harus menikahkan anaknya yang padahal belum ada kesiapan apapun di mentalnya. Air mata Bunda menetes, Bunda tidak menyangka ternyata pernikahan Dipta tidak semulus yang dipikirnya.
“Bun, aku masih pengin minum susu setiap pagi sebelum berangkat kuliah aku masih pengin diingetin Bunda berkali-kali untuk membawa bekal, aku masih pengin—” Dipta tidak kuat melanjutkan keluhannya kepada sang Ibunda, sesak terus menyerang dadanya seperti tidak diizinkan untuk bicara.
Dipta menarik nafasnya panjang lalu melanjutkan keluhannya pada sang Ibunda, agar sang Ibunda paham dengan perasaannya, “Aku masih pengin diomelin Bunda karena aku begadang hingga pagi. Bun... Kenapa harus menuntut aku untuk menikah?”
Tangisan Bunda menjadi-jadi mendengar anaknya yang mengeluh dan bertanya, pertanyaannya yang Dipta lontarkan belum terjawab oleh Bunda. Bunda pun bingung mengapa harus menikahkan anaknya tanpa memikirkan masa depan anaknya dan tanpa memikirkan perasaan anaknya.
“Bunda hanya ingin kamu hidup bahagia bersama orang yang telah berjanji untuk membahagiakanmu seumur hidupmu tanpa membuat sedikitpun kamu menangis dan bersedih... Ternyata janjinya tidak ditepati... Dia membuatmu sedih...”
Dipta yang tadinya menunduk kini mendongak menatap Bunda saat mendengar jawaban Bunda.
Apa yang Bunda katakan? Ian pernah berjanji untuk membuat Dipta bahagia seumur hidupnya?
Mendengar itu tiba-tiba saja dikepalanya terlintas perilaku-perilaku Ian yang selalu berusaha baik dan membuat Dipta bahagia dengan caranya. Ian yang selalu membuatkannya cokelat panas saat bumi diguyur hujan, Ian yang selalu siap sedia saat Dipta sakit, Ian yang selalu menyambut Dipta pulang kuliah walau jarang sekali Dipta hargai, Ian yang belajar memasak untuk membuatkan Dipta makanan kesukaannya yang padahal Dipta tau kalau Ian tidak bisa memasak, Ian yang selalu memberikan Dipta hadiah tanpa diminta dan banyak lagi perilaku Ian yang berusaha membuat Dipta jatuh cinta dan bahagia dengan caranya sendiri.
Dipta pun jadi ingat chatnya yang semalam ia kirimkan pada Ian. Beberapa pesan yang sangat menyakitkan jika dibaca oleh orang yang sangat berusaha untuk membuatnya jatuh cinta.
Fokusnya kembali pada Bunda di depannya.
“Maafin Bunda, Nak. Maafin Bunda... Maaf... Jika mau berhenti, berhentilah...” Ucap Bunda dengan lembut.
Tidak, Dipta tidak ingin berhenti, Dipta hanya ingin istirahat beberapa hari untuk menenangkan hati dan pikirannya.
Dipta akan menginap beberapa hari di rumah orang tuanya. Setelah dirasa sudah tenang, Dipta akan kembali pada rumahnya, Gabrian Arjuna Putra, yang pasti selalu menunggunya hadir. Dipta akan menemui Ian lalu bersujud untuk minta maaf pada Ian karena telah membuat Ian hancur. Walau tanpa sujud penyesalan, Ian akan selalu memaafkan Dipta. Seharusnya di sini yang sedih dan hancur itu Ian bukan Dipta.
Pradipta Aksaranata, pria bodoh yang tidak pernah mau paham dengan perasaannya sendiri hingga tidak memikirkan perasaan orang lain.
Written by brownieszt.