brownieszt

“Aaah!” Desah Harenza dengan keras tak peduli bahwa dia sedang berada di rooftop sebuah resto mewah yang langsung dapat terlihat aktivitas dibawah.

Piring dan juga gelas sejak tadi berjatuhan tak terkendali karena sepasang suami yang sedang melakukan penyatuan diri.

Posisinya, keduanya diatas meja, Harenza dibawah sedangkan Meldrick diatasnya menggenjot penisnya didalam lubang anal suaminya dengan sangat cepat dan tak terkendali, ia tak peduli suaminya sejak tadi terus menangis dan berteriak dengan sangat kencang.

Keduanya tak mengenakan busana sehelai pun, keduanya tak peduli jika manusia manusia dibawah ada yang melihat proses penyatuan tubuh mereka. Mereka hanya peduli dengan kenikmatan yang sedang mereka rasakan saat ini.

Harenza terus berteriak tak karuan, karena Meldrick terus menggenjot penisnya didalam lubang analnya bahkan ia mengeluarkan penisnya lalu memasukkan kembali dengan secara berulang. Hingga ia tak sadar bahwa sejak tadi kukunya terus mencakar punggung telanjang milik suaminya namun suaminya tak mempedulikannya.

00.00

Meldrick membisikkan sepenggal kalimat kepada suaminya yang sedang memejamkan matanya sambil mulutnya tak berhenti mendesah kenikmatan. “Open your eyes, baby.” ucapnya dengan nada berat. Harenza membuka matanya dengan pelan. Dan ia dibuat kaget karena langit dihiasi oleh kembang api yang bertuliskan “Happy third anniversary. Tentunya ia sangat shock dan bahagia, matanya meneteskan air mata bahagia, bibirnya melengkung dengan sangat indah. Itu ternyata baru sepenggal kalimat di langit. Langit kembali dihiasi oleh kembang api dengan tulisan “I love you, honey.” dan membuat Harenza lagi dan lagi menangis terharu.

Meldrick tak berhenti mengeluar masukkan penisnya namun kali ini dengan tempo yang sangat lembut, ia biarkan suaminya untuk menikmati suasana yang sedang terjadi saat ini. Meldrick kembali membisikkan sepenggal kalimat kepada Harenza dengan suara yang lembut, “Do you like it? Kamu senang?” Harenza mendengarnya lantas langsung menganggukkan kepalanya dengan sangat kencang. Tentu saja dirinya sangat bahagia.

Kedua bibirnya bertemu, menyatu dan saling melumat dengan sangat lembut dan hati-hati, mata keduanya terpejam untuk menikmati kecupan dan lumatan cinta yang sedang keduanya perbuat.

Meldrick kembali menggenjot penisnya dengan tempo pelan lalu berangsur tempo cepat hingga membuat Harenza kembali berteriak keenakan. Keduanya sudah berkali-kali mencapai orgasme namun keduanya tak kunjung menyelesaikan penyatuan tubuhnya dihari spesial ini.

— fin

written by brownieszt.

Setelah beberapa kali aku menghubungi Hilmy melalui WhatsApp namun tak kunjung dibalas dan dibaca, aku menyadarinya bahwa nomorku sudah diblokir. Dia cemburu. Aku yakin dengan itu. Namun yang menjadi pertanyaanku, apakah dia juga mencintaiku sama halnya denganku?

Tak butuh waktu lama, aku keluar dari kamar hotelku lalu menuju kamar hotel Hilmy yang jaraknya tak jauh dari kamarku, hanya berjarak dua kamar.

Aku mengetuk pintu kamarnya tiga kali namun tak dapat jawaban dari dalam. Aku mengetuk pintu kamar lagi, tak dapat jawaban. Aku tak ingin menyerah begitu saja.

“My, please gue bisa jelasin.” ucapku dengan suara tak terlalu kencang juga tak terlalu pelan namun cukup didengar oleh empu yang berada di dalam.

Sebenarnya aku tak perlu seperti ini, aku tak perlu menjelaskan. Kami tak mempunyai hubungan apapun— selain rekan kerja. Namun satu hal yang mungkin Hilmy tak tau, aku mencintainya. Sudah jelas. Aku menunjukannya melalui perlakuanku selama ini kepadanya. Aku mencintainya sebelum kami terlibat hubungan tak jelas seperti ini. Aku mencintainya jauh sebelum dia mengenalku.

Pintu terbuka. Aku melihat dengan jelas wajah yang sangat aku dambakan, yang selalu membuat aku berdoa agar aku bisa melihat wajahnya setiap hari. Aku tersenyum menatapnya— namun dia hanya menatapku tak peduli lalu meninggalkanku masuk begitu saja.

“Itu Kakak gue.” ucapku saat memasuki kamar hotel Hilmy yang terlihat sedikit berantakan.

“My, you jealous. Jangan denial lagi.”

“Iya! Gue cemburu! Gue suka sama lo.” Ucapan tingginya membuatku termangu tak bergerak. Yang tadinya banyak kalimat yang ingin keluar dari mulutku namun tiba-tiba saja hilang.

“My...”

Aku menghampiri tubuh yang sedikit berisi namun dengan tinggi yang ideal itu lalu memeluknya dengan sangat erat.

I love you too.

“Jangan bohongin gue, Kai.”

“Gue gak bohong, My. Gue berani sumpah. Gue suka banget sama lo.”

“Jangan kemana-mana lagi ya, Kai, sama gue aja.”

I promise.

Aku terbangun dari tidurku setelah tertidur sejak pulang dari berjalan santai sekitar taman di Toronto. Aku belum tidur seharian karena memikirkan bagaimana caranya membuat suamiku bahagia, bagaimana caranya menembus dosaku kepadanya.

Jam berapa sekarang, aku meraih handphoneku yang berada persis di sebelahku. Banyak sekali notifikasi yang masuk. Salah satunya ada notif yang membuat tubuhku menegang sempurna, dadaku berdegup kencang, tanganku bergetar hebat.

“Dip, cek berita. Ada pesawat jatuh, itu bukan rian, kan?” Notifikasi yang membuat diriku bergetar hebat.

Aku membuka aplikasi burung biru, tak butuh waktu lama aku membuka trending. Pesawat jatuh tujuan Toronto. Aku klik. Aku bergetar hebat. Aku takut. Takut ada Ian di sana. Banyak korban jiwa.

Yang tadi aku merasa lelah dan butuh istirahat sejenak kini aku tidak lagi merasakan itu, kini rasa lelahku berganti dengan rasa takut. Tubuhku bergetar, walau sejak tadi aku sudah berusaha membuat diriku tidak berpikir yang tidak-tidak. Namun tak bisa, aku tetap takut.

Aku bergegas mengambil tas kecilku yang berisi barang penting, meraih kunci mobil dan meninggalkan kamar yang sudah terhias dengan sangat romantis hingga aku rela tidur di sofa agar tak merusak bunga yang berada di atas ranjang. Aku rela tubuhku ngilu karena tidur di sofa hingga nanti suamiku pulang dan bisa menikmati ranjang yang sudah terhias rapih.

Aku menyetir mobilku dengan ugal-ugalan menuju bandara untuk mengetahui kabar suamiku. Aku berharap suamiku sudah berada di bandara Toronto dengan senyumannya yang sangat manis mampu membuatku pingsan ditempat. Aku berharap ini hanya mimpi. Aku berharap ini semua tak terjadi.

Tanganku berkeringat, aku sangat takut. Aku menangis. Menangis sendiri di mobil. Merapalkan banyak doa agar suamiku selamat sampai bertemu denganku. Aku masih ingin membahagiakan suamiku, aku masih ingin menembus dosa yang pernah ku buat terhadap suamiku.

“Tolong jangan hukum aku dengan kejadian ini. Ini berat sekali.”

“Ian, jangan kemana-mana, sama aku aja. Jangan tinggalin aku sendiri, aku lebih hancur tanpa kamu.”

Ucapku dengan suara bergetar. Napas yang tak bisa ku atur. Air mata yang tak dapat lagi terbendung.

Mengapa jarak bandara menjadi sangat jauh.


Sesampainya di bandara aku berlari entah kemana. Sampai bertemu perkumpulan orang sedang melihat televisi yang berisi korban jiwa dengan keterangan nama.

Dengan dada yang berdegup kencang. Dengan harapan bahwa nama Ian tak ada di sana. Aku maju, menerobos banyak orang, banyak yang protes kepadaku karena aku menerobos begitu saja. Banyak yang marah padaku. Aku egois saat ini. Aku tau bahwa yang sedang berduka bukan hanya aku saja mungkin sebagian orang di sini berduka. Aku melihatnya sendiri, ada yang meraung menangis, ada yang berteriak tidak percaya bahwa orang yang disayangnya menjadi korban, bahkan ada yang pingsan ditempat. Aku tidak tau apa yang terjadi padaku jikalau nama suamiku ada di sana. Mungkin aku sama dengan wanita itu yang sedang meraung tak percaya.

Aku meneliti satu persatu nama di sana yang menjadi korban. Aku mencari nama Ian di korban hilang. Tak ada. Sedikit lega namun hanya sebentar. Aku mencari nama Ian di korban jiwa. Nama Gabrian Arjuna Putra tertera di sana. Aku lemas sangat lemas hingga tak kuat untuk berdiri. Aku terdiam sejenak karena tak tau harus bagaimana. Aku terluka, sangat.

Hingga akhirnya aku sudah tak kuat lagi membendung rasa luka dan sakit. Aku meraung sendiri merasa tak percaya. Menangis berteriak hingga banyak orang yang menghampiriku memberiku banyak perhatian. Aku memanggil nama suamiku berkali-kali. Aku tak percaya dengan ini. Aku menjambak rambutku frustasi agar aku terbangun dari mimpi burukku. Jika ini adalah mimpi tolong bangunkan aku sekarang juga. Aku tak kuat ini sangat sakit.

“GABRIAN, JANGAN TINGGALIN AKU. JANGAN BIARIN AKU SENDIRI.” Teriakku. Tak peduli manusia di sana menatapku dengan iba.

Aku kehilangan. Kehilangan duniaku. Aku butuh Ian, selalu butuh Ian. Bagaimana hidupku selanjutnya tanpa Ian. Tak akan pernah bahagia. Aku hanya bahagia bersama Ian.

Aku menyesal berada di sini. Menyesal menyuruh Ian menghampiriku. Aku sangat menyesal hingga terus-terusan menyalahkan diriku sendiri.

Ian, aku tau dosaku banyak sekali kepadamu. Aku tau aku belum bisa menjadi suami yang dapat dibanggakan. Aku tau aku belum bisa membahagiakan dirimu. Aku tau aku belum sempurna untuk menjadi pendamping hidupmu. Tapi tolong, Ian... Jangan hukum aku dengan kepergianmu. Aku mau memperbaikinya. Aku mau menembus seluruh dosa yang aku pernah perbuat kepadamu. Ian, maafkan aku.

Setelah meraung aku kehilangan sadar diriku. Setelah itu semuanya aku tak ingat. Kepalaku sangat pening. Aku pingsan. Tak sadarkan diri. Tak mau sadar dari kenyataan. Terlalu sakit jika kembali dalam kenyataan ini. Aku tak peduli banyak orang yang kesulitan menggotongku untuk menuju rumah sakit.

Setelah kejadian itu yang berada dalam pikiranku adalah menyusulnya. Hidup bahagia bersama Ian tanpa ada lagi perpisahan menyakitkan seperti ini. Lagi dan lagi aku selalu membutuhkan Gabrian Arjuna Putra dalam hidupku. Tanpanya aku bukan apa-apa.

Tak menduga. Setelah sekian lama Dipta mondar-mandir sambil berpikir apakah ia harus pakai lingerie ini untuk menyambut Ian atau tidak. Dengan dada yang berdegup hebat karena Ian sebentar lagi akan sampai, ia mengambil lingerie itu dari atas ranjang lalu dibawanya menuju toilet.

Dipta sudah berganti baju. Lingerie hitam panjang. Yang harganya sangat membuat Dipta jantungan. Dipta terlihat cantik tetapi sungguh ia sangat tidak pede menggunakan ini. Tetapi demi menyenangkan hati suaminya, mengapa tidak?

Dipta terduduk diatas ranjang dengan hiasan bunga-bunga mawar. Sangat mewah. Dipta terduduk dengan perasaan tidak tenang, ia takut jika suaminya tidak suka ia menggunakan ini, ia takut jika suaminya akan menatap aneh dirinya jika menggunakan pakaian ini. Dipta berkali-kali membuka hp nya agar menghilangkan rasa nervous nya.

Ketukan pintu terdengar, degup jantungnya makin kencang. Itu Ian, suaminya.

Dipta menghampiri pintu, membuka pintu. Keduanya saling menatap. Membeku. Keduanya membeku. Ian menatap kagum Dipta. Dipta tersipu.

Bibir Ian menyunggingkan senyum menatap kagum tubuh Dipta yang sangat sempurna apalagi dengan balutan busana sexy berwarna hitam itu. Ian menghampiri Dipta, memeluknya dengan sangat erat. Sudah lama sekali keduanya tidak bertemu dan berpelukan seperti ini.

Dikecupnya berkali-kali pipi Dipta dengan gemas. Ian tentu saja sangat suka dengan lingerie yang terpasang pada tubuh Dipta, apapun yang Dipta kenakan, Ian pasti suka. Ian puji berkali-kali suaminya hingga suaminya itu tersipu, pipinya memerah lucu.

Keduanya sudah terduduk diatas ranjang dengan perasaan masing-masing. Canggung. Karena suasana baru dan keduanya mulai hari ini harus terbiasa dengan suasana baru. Ian mengambil tangan Dipta lalu digenggamnya, dikecupnya dan dielusnya tangan halus itu. Keduanya saling menatap.

“Ian, maaf.” Ucap Dipta. Tiba-tiba saja ia teringat dengan dosa-dosa yang ia perbuat pada suaminya ini. Ia teringat jika ia pernah membuang Ian, menganggap Ian tidak ada, membenci Ian bahkan hingga membuat Ian hampir stress. Napas Dipta tersekat. Dipta meneteskan air matanya.

“Kenapa nangis? Apa yang ditangisin, Sayang? Jangan menangis. Kita di sini untuk bahagia bukan untuk bersedih.” Tangan Ian terulur untuk mengusap pipi basah Dipta. Ian kembali memeluk tubuh Dipta dengan sangat erat, menenangkan perasaan Dipta. Ian tau betul apa yang sedang Dipta rasakan.

Pelukan terlepas. Ian menangkup pipi basah Dipta. Mencuri kecupan singkat dibibir Dipta.

“Kita perbaiki semuanya. Kita mulai semuanya. Bersama-sama. Yang lalu biarlah berlalu, aku sudah memaafkan, Sayang. Jangan terus dipikirkan. Aku enggak apa.”

Ian kembali mengambil tangan Dipta. Mengeluarkan kotak cincin. Ada dua pasang cincin didalamnya. Cincin cantik dengan ukiran inisial keduanya dan tanggal pernikahan keduanya didalamnya.

'G, 220922' untuk cincin Dipta.

'P, 220922' untuk cincin Ian.

“Ian, aku janji akan menggantikan rasa sakit yang pernah aku beri dengan rasa bahagia nanti. Ian, ayo kita perbaiki pernikahan kita.”

“Aku sayang kamu, Ian.” Lanjut Dipta. Membuat Ian tersenyum lebar dan menatap Dipta dengan berkaca-kaca.

“Aku lebih, Dip. I love you so much.”

Setelah saling mengaitkan cincin pada jari manis masing-masing. Ian kembali menangkup pipi Dipta. Kembali mencuri kecupan pada bibir Dipta kini tidak singkat seperti tadi namun kecupan lama yang kian lama kian berubah menjadi lumatan dan hisapan. Keduanya saling berperang lidah hingga kepala keduanya bergerak kekanan dan kekiri.

— tamat.

––– Sebelum memulai cerita antara Radeva dan Karel, aku ingin sedikit memperkenalkan keduanya agar kalian tidak bingung dengan keduanya.

Pak Radeva atau biasa murid panggil Pak Radev. Pak Radev adalah guru ekonomi yang dikenal oleh murid muridnya karena galaknya. Pak Radev suka menghukum murid bahkan Pak Radev lebih tegas daripada guru bk yang hanya asik mengongkangkan kakinya santai. Pak Radev ini belum lama mengajar di sekolah ini. Baru satu tahun Pak Radev mengajar tapi sudah terkenal hingga satu sekolah kenal Pak Radev. Guru ekonomi tergalak. Apalagi dengan Karel, si biang kerok kelas. Nanti kita akan mengenal Karel setelah ini. Jangan salah, Pak Radev ini belum menikah, masih bujang. Bahkan usinya masih menginjak di usia 24 tahun. Oke sekian perkenalan Pak Radeva, nanti kalian naksir haha.

Karel, tak ada yang mengenal Karel. Karel terkenal karena ulahnya. Bahkan dirinya pernah dipermalukan didepan satu sekolah pada saat upacara karena ulahnya. Pak Kepala sekolah yang membahasnya karena dirinya berani merokok di belakang sekolah. Karel ini suka membuat ulah, berantem sana sini. Semua guru sudah sangat lelah karena tingkahnya, hanya satu guru yang sangat sabar mengajari Karel, iya, Pak Radeva. Karel hanya manut pada pinta Pak Radev, karena katanya “Pak Radev itu berbeda dari guru-guru lainnya”. Pak Radev punya caranya sendiri untuk membuat dirinya luluh. Iya, dengan ciumannya, hahaha.

Radev dan Karel sudah lama berpacaran bahkan sebelum Radev mengajar di sekolah Karel. Alasan Radev mengajar di sekolah Karel adalah karena Radev ingin merubah pacarnya itu menjadi murid teladan. Banyak cara Radev untuk membuat Karel manut padanya. Hanya Radev dan Karel yang tau.

–––

Kelas itu sangat bising, siswa dan siswi berteriak dan mengobrol tak memberi kesempatan Radev untuk bicara. Radev sudah selesai memberi materi kini jamnya ia untuk memberi tugas.

“Ada apa? Rame sekali? Itu sedang apa di belakang?” Radev berteriak mengalahkan seluruh muridnya yang berisik

Harenza Pov

“Kalau kamu pulang masih sibuk sama kerjaan kamu mending gak usah pulang, Mel.” Ucap gue dengan nada kesal. Bagaimana gak kesal dan marah sama Meldrick, dia baru pulang jam 11 malem tanpa ngabarin gue dulu kalau mau lembur trus dirumah dia masih ngerjain kerjaannya, orang gila.

Dia gak jawab gue. Diem. Dia diem doang masih melanjutkan ketikan di laptop, entah ngetik apa, entah ngerjain apa. Gue sama sekali gak peduli dengan itu.

Dengan perasaan kesal yang membuncah, bantal yang bertengger diatas pangkuan gue, gue lempar kearah Meldrick yang masih asik dengan kerjaanya. Bantal itu mengenai kepala Meldrick lalu mengenai laptopnya. Jujur gue agak ngeri ngeliat laptopnya tiba tiba aja mati akibat bantal yang gue lempar. Gue gak sengaja. Asli.

Meldrick membalikkan badannya. Badan gue sedikit gemetar tapi gak gue tunjukin. Raut wajahnya entahlah gue gak bisa gambarin dengan jelas, tapi gue tau kalau dia itu marah. Marah besar sama gue.

“Apa? Mau apa?” Ucapnya dengan nada dingin bukan dengan nada biasanya yang sering dia ucapkan pada gue. Gue gigit bibir dalam gue. Takut. Tapi gue masih berhak buat marah 'kan? Meldrick yang salah. Bukan gue. Siapa suruh dia bawa kerjaan kerumah.

“Aku harus berapa kali bilang kalau kerjaan itu kerjain di kantor setelah pulang taruh kerjaan itu. Gak bisa apa kamu taruh kerjaan itu? Gak bisa? Lebih penting dari aku apa bagaimana?” Gue gatau ngomong apa. Intinya gue marah. Mungkin muka gue merah kayak tomat akibat kemarahan gue, sampai gue gak sadar nada bicara gue meninggi dihadapan suami gue. Gak peduli, intinya gue marah.

“Gak bisa apa kamu ngertiin aku? Harenza, ini penting. Kerjaan aku penting.” Jujur pada saat Meldrick mengeluarkan kalimat itu dari mulutnya membuat dada gue sesak banget. Sesak banget sampai kepala gue pening akibat amarah yang gue tahan.

“What about me? What about me, Meldrick?! Jadi aku gak penting???” Gue teriak. Teriak kencang berharap dia ngerti perasaan gue. Berharap dia bisa ngertiin gue juga.

“Kamu penting, Harenza. Tapi untuk hari ini tolong ngertiin aku dulu. Banyak banget kerjaan hari ini. Makanya aku lembur dan bawa kerjaan ini ke rumah, kalaupun engga penting pasti aku gak akan bawa lembur dan bawa kerjaan ini. Maaf ya.” Ucapnya dengan lembut seperti menenangkan gue dari amarah. Dia itu kayak air dan gue api nya. Tapi gue masih gak terima. Gue masih ber api-api. Gue masih natap dia dengan tatapan marah.

Gue gak jawab. Gue diem. Dengan posisi tidur gue tarik selimut hingga kepala gue tertutup selimut. Gue nangis dibalik selimut. Gak ada yang tau bahkan Meldrick yang jaraknya gak jauh dari gue sepertinya gak tau kalau gue lagi nangis.

Gue hari ini sensitif banget. Gue gak ngerti apa yang terjadi sama gue. Pokoknya hari ini dimata gue semuanya salah. Bahkan tadi gue hampir khilaf marahin anak sulung gue karena hal sepele. Mungkin efek capek karena ngerjain rumah sendiri karena yang bantu-bantu dirumah lagi cuti, belum lagi ngurusin anak yang belum bisa diajak kerja sama.

Gue kira dengan nanti Meldrick pulang rasa capek gue menghilang tapi ternyata engga, dia malah buat gue marah dan bahkan nangis kayak gini.

Badan gue gemetar hebat. Dada gue teramat sesak. Gue gak bisa lampiasin amarah gue yang masih menggebu-gebu kalaupun dilampiasin itupun juga dengan nangis kayak gini. Iya, gue nangis karena amarah gue yang tertahan.

Ada tangan yang berusaha ngelus bahu gemetar gue. Itu tangan Meldrick. Gue salah, dia sepertinya tau kalau gue lagi nangis. Dia persis disebelah gue yang tadinya ada didepan meja kerjanya sekarang ada disebelah gue. Gue masih didalam selimut. Masih dengan terisak.

Selimut gue dibuka sama Meldrick. Gue ditarik untuk masuk kedalam pelukannya. Dia peluk gue. Erat banget. Dia diem doang, gak ngomong apa-apa tapi jari jemarinya ngelus dengan lembut punggung gue. Terbukti, kan, kalau dia adalah air dan gue adalah api nya. Perlahan amarah dan sesak di dada gue menghilang karena dipeluk dengan erat seperti ini. Gue gak berhenti nangis. Gue gak peduli bahunya basah karena air mata dan ingus gue.

“I'm sorry, Love. I'm sorry. I love you so much.” Bisiknya dengan sangat lembut ditelinga gue sambil diciumin pipi gue dan leher gue.

Tangisan gue berhenti. Pipi gue ditangkup. Kami saling menatap. Lagi dan lagi dia ngucapin maaf.

“Maaf. Maafin aku, jangan nangis lagi, ya. Maafin aku.” Gue gigit bibir gue kencang-kencang karena dada gue sesak banget ngeliat dia minta maaf sambil menahan air matanya yang ingin tumpah diujung matanya.

I'm sorry too. Aku lagi sensitif banget hari ini. Kita sama-sama capek, Mel.” Gue ngucapin maaf juga sambil nunduk karena gak kuat liat Meldrick yang lagi nahan tangisannya karena gue. Gue gatau siapa yang harus minta maaf. Jadi gue ikut minta maaf juga.

Pipi gue lagi dan lagi ditangkup. Air mata gue yang ngalir gak berhenti itu diusap lembut sama jari jemarinya. Pada saat gue ngeliat wajahnya. Dia nangis. Pipinya basah. Hidungnya memerah. Gue juga usap air matanya lalu tarik dia kedalam pelukan. Gue peluk dia kayak dia peluk gue pada saat gue terisak tadi. Gue peluk dengan erat-erat.

“Aku capek banget hari ini, Za. Maaf tadi karena kalimat aku buat kamu nangis. Jangan nangis lagi karena aku.” Ucapnya dengan gemetar.

“Aku juga capek, Mel. Maaf juga tadi aku gak jelas banget marah marah gitu.”

Malam itu diakhiri dengan pelukan kami yang tidak lepas hingga fajar. Hingga matahari menyapa dunia.

– fin.

Written by brownieszt.

“Ngapain sih lo dateng ke sini? Malem-malem?” Maki Hilmy yang baru membuka kan pintu apartnya kepada Kaivar yang bahkan belum sempat melangkahkan kakinya masuk.

Kaivar memberi kode kepada Hilmy seperti meminta izin untuk memasuki apartnya, Hilmy menatap Kaivar geram, marah, sebal menjadi satu.

“Jangan ngomel terus, nih gue bawain cemilan. Netflix and chill with me?” Kaivar mengedipkan sebelah matanya kepada Hilmy, Hilmy tak menjawab ajakan Kaivar, ia hanya terdiam menatap Kaivar dengan sorot ilfeel karena Kaivar tiba-tiba saja dateng ke apartnya dan mengajaknya netflix and chill, apa dia sudah gila?

“Okey.” Tak dapat jawaban juga dari Hilmy, Kaivar melenggang masuk lebih dalam, menempatkan cemilannya pada mangkuk dan menyalakan televisi milik Hilmy tanpa izin Hilmy.

“Orang gila. Orang stress.” Hilmy mendumal, bibirnya tidak berhenti mengeluarkan kalimat kasar mengutuk manusia yang sedang duduk santai memilih film sambil memakan cemilannya.

Kaivar menoleh, kutukan Hilmy terdengar sampai telinga Kaivar, tetapi Hilmy tidak peduli, malah ia menatap marah wajah Kaivar. Kaivar terkekeh tentu saja, ia merasa bahagia saat melihat Hilmy itu sebal kepadanya.

“Sini duduk, pacar, kita nonton santai hahaha.” Kalimat ajakan disertai kekehan.

Hilmy butuh healing, mungkin nonton bisa menghilangkan penatnya sementara. Ia sebenarnya ingin ikut menonton tetapi tidak dengan Kaivar! Hilmy mendesah kasar berjalan menuju kulkas untuk menuangkan coca cola kedalam kedua gelas, satu untuknya dan satu untuk Kaivar. Kaivar tersenyum miring melihat Hilmy yang datang kepadanya membawa nampan berisi gelas coca cola.

Hilmy terduduk, tidak salah kan jika sesekali menonton bersama manusia menyebalkan ini? Oke, baiklah, malam ini Kaivar menang. Hilmy luluh. Hilmy mengikuti permintaan menyebalkan Kaivar untuk menonton bersama.

Keduanya tidak banyak bicara. Keduanya fokus kepada plot film sambil sesekali memasukan cemilan kedalam mulutnya.

Mata Hilmy memberat. Film sudah berjalan selama 35 menit. Hilmy tak tahan, matanya sangat berat, ia sangat mengantuk. Tak sadar. Hilmy tak sadar kepalanya bertengger dibahu lebar milik Kaivar, membuat sang pemilik bahu berjengit kaget lalu tak lama terkekeh dan mengelus pelan pipi juga rambut milik Hilmy yang sudah terlelap melupakan film yang masih berjalan.

“Good night, Hilmy.” Kaivar membisikan kalimat tersebut di telinga Hilmy lalu menyelimutinya. Setelah tadi Kaivar berusaha membuat Hilmy tertidur dengan posisi tidur bukan duduk, karena ia tau bahwa tertidur dengan posisi duduk itu sangat menyakitkan. Punggungnya bisa sangat sakit saat terbangun nanti. Maka dari itu Kaivar menidurkan tubuh Hilmy dengan pelan tanpa menganggu Hilmy yang masih terlelap.

Dipta sejak tadi terus mengaduk teh manis yang ada dicangkir, tidak sedikitpun ia minum bahkan yang tadinya hangat hingga asap terlihat mengepul itu pun tidak ada lagi dicangkir itu. “Diminum, jangan diaduk terus nanti tumpah.” Ucap wanita paruh baya yang sejak tadi duduk di depannya, mengamatinya dengan tatapan khawatir.

Dipta terus menunduk sambil mengaduk teh itu tak sadar bahwa air matanya meluluh hingga tercampur pada teh manisnya. Bunda tambah khawatir dengan anaknya, mengapa tiba-tiba seperti ini? Mengapa anaknya yang super duper kuat itu menjadi lemah? Mengapa anaknya yang setiap hari mendongakkan kepalanya kini menundukkan kepalanya? Mengapa? Mengapa? Dan mengapa? Banyak pertanyaan dikepala Bunda yang belum sempat keluar dari bibirnya yang cantik, Bunda memberi waktu Dipta untuk menenangkan dirinya terlebih dahulu.

Sedangkan Dipta bingung, mengapa ia sangat sedih saat ini? Mengapa air matanya terus menetes hingga sesak menyerang dadanya. Dipta terus kepikiran Gabrian, mungkin ini adalah air mata penyesalannya karena besar penyebab Dipta menangis adalah Gabrian, bukan karena Gabrian menyakitinya tapi karena dia yang sudah menyakiti Gabrian.

Bunda tak tahan hanya duduk diam memperhatikan anaknya yang sedang hancur. Bunda menghampiri Dipta, kini Bunda duduk di sebelah Dipta, merengkuh Dipta dengan sangat erat seolah Bunda memberikan semangat kepada anaknya tercinta yang sedang hancur.

Bunda menepuk-nepuk pundak Dipta lembut, mengusap kepala Dipta juga dengan lembut. “Menangislah, Nak, sampai lega. Bunda enggak akan ninggalin Dipta sendiri, Bunda di sini sama Dipta, mau nangis sampai malam pun pasti Bunda akan temenin. Tapi harus janji dulu sama Bunda, setelah lega, beritahu Bunda mengapa anak Bunda ini menangis. Ya, Nak?”

Dipta mengangguk lemah.

“Bun...” Panggilnya dengan sangat lemah, tenaganya seperti terkuras karena tangisannya.

“Iya, anakku?” Bunda beralih untuk mengambil posisi duduk di sebelah Dipta. Bunda menyeka air mata Dipta dengan lembut lalu tangannya menggenggam tangan Dipta untuk menyalurkan energi pada anaknya.

“Pernikahan itu berat banget, ya, Bun? Aku ternyata belum sanggup menerimanya.”

Bohong sekali jika Bunda tidak kaget dan tidak sakit hati saat mendengar tutur Dipta. Bunda menatap Dipta dengan tatapan yang sangat khawatir.

“Kenapa, Nak? Ada masalah sama Ian?”

“Bun, aku mau berhenti tapi enggak mau Ian pergi.” Ia bingung, ia ingin sekali mengakhiri ini semua tapi ia tidak mau jika Ian pergi dan tidak peduli lagi dengannya. Bagaimana ini? Dipta harus apa?

“Kenapa harus menikah, Bun? Kenapa keinginan Bunda dan Ayah itu menikahkanku pada temanku yang dulu sering kali berbagi es krim kepadaku? Kenapa harus menikah, Bun? Kenapa enggak menuntut aku untuk kuliah dengan benar dan mencapai gelar sarjanaku? Kenapa, Bun?” Lanjut Dipta diiringi dengan air mata yang kerap kali menetes dengan deras.

Bunda seperti tersambar petir, hatinya sangat sakit mendengar keluhan anaknya. Ia juga bertanya pada dirinya sendiri kenapa harus menikahkan anaknya yang padahal belum ada kesiapan apapun di mentalnya. Air mata Bunda menetes, Bunda tidak menyangka ternyata pernikahan Dipta tidak semulus yang dipikirnya.

“Bun, aku masih pengin minum susu setiap pagi sebelum berangkat kuliah aku masih pengin diingetin Bunda berkali-kali untuk membawa bekal, aku masih pengin—” Dipta tidak kuat melanjutkan keluhannya kepada sang Ibunda, sesak terus menyerang dadanya seperti tidak diizinkan untuk bicara.

Dipta menarik nafasnya panjang lalu melanjutkan keluhannya pada sang Ibunda, agar sang Ibunda paham dengan perasaannya, “Aku masih pengin diomelin Bunda karena aku begadang hingga pagi. Bun... Kenapa harus menuntut aku untuk menikah?”

Tangisan Bunda menjadi-jadi mendengar anaknya yang mengeluh dan bertanya, pertanyaannya yang Dipta lontarkan belum terjawab oleh Bunda. Bunda pun bingung mengapa harus menikahkan anaknya tanpa memikirkan masa depan anaknya dan tanpa memikirkan perasaan anaknya.

“Bunda hanya ingin kamu hidup bahagia bersama orang yang telah berjanji untuk membahagiakanmu seumur hidupmu tanpa membuat sedikitpun kamu menangis dan bersedih... Ternyata janjinya tidak ditepati... Dia membuatmu sedih...”

Dipta yang tadinya menunduk kini mendongak menatap Bunda saat mendengar jawaban Bunda.

Apa yang Bunda katakan? Ian pernah berjanji untuk membuat Dipta bahagia seumur hidupnya?

Mendengar itu tiba-tiba saja dikepalanya terlintas perilaku-perilaku Ian yang selalu berusaha baik dan membuat Dipta bahagia dengan caranya. Ian yang selalu membuatkannya cokelat panas saat bumi diguyur hujan, Ian yang selalu siap sedia saat Dipta sakit, Ian yang selalu menyambut Dipta pulang kuliah walau jarang sekali Dipta hargai, Ian yang belajar memasak untuk membuatkan Dipta makanan kesukaannya yang padahal Dipta tau kalau Ian tidak bisa memasak, Ian yang selalu memberikan Dipta hadiah tanpa diminta dan banyak lagi perilaku Ian yang berusaha membuat Dipta jatuh cinta dan bahagia dengan caranya sendiri.

Dipta pun jadi ingat chatnya yang semalam ia kirimkan pada Ian. Beberapa pesan yang sangat menyakitkan jika dibaca oleh orang yang sangat berusaha untuk membuatnya jatuh cinta.

Fokusnya kembali pada Bunda di depannya.

“Maafin Bunda, Nak. Maafin Bunda... Maaf... Jika mau berhenti, berhentilah...” Ucap Bunda dengan lembut.

Tidak, Dipta tidak ingin berhenti, Dipta hanya ingin istirahat beberapa hari untuk menenangkan hati dan pikirannya.

Dipta akan menginap beberapa hari di rumah orang tuanya. Setelah dirasa sudah tenang, Dipta akan kembali pada rumahnya, Gabrian Arjuna Putra, yang pasti selalu menunggunya hadir. Dipta akan menemui Ian lalu bersujud untuk minta maaf pada Ian karena telah membuat Ian hancur. Walau tanpa sujud penyesalan, Ian akan selalu memaafkan Dipta. Seharusnya di sini yang sedih dan hancur itu Ian bukan Dipta.

Pradipta Aksaranata, pria bodoh yang tidak pernah mau paham dengan perasaannya sendiri hingga tidak memikirkan perasaan orang lain.

Written by brownieszt.

Sesampainya Javier di Apart Bagas, pintunya tidak terkunci, Javier tidak lagi memperdulikan adab bertamu, ia masuk kedalam apart Bagas.

Cukup gelap, hanya ada satu ruangan yang bercahaya, itu ruangan menonton televisi. Televisi yang terus menyala tidak dipedulikan oleh dua manusia yang sedang mengadu lidah, iya, Bagas dan Dipta sedang berciuman membuat Javier diam membuka didepan pintu.

Javier mencari barang yang dapat dilempar kedekat kedua manusia yang sedang berciuman itu agar keduanya sadar, kalau bisa ia akan melemparkannya langsung kepada dua kepala yang sedang gerak kekanan dan kekiri itu. Vas bunga di dekatnya menjadi sasaran empu Javier, dilemparnya vas itu menimbulkan suara yang sangat keras, ia tidak peduli apa sejarah dan berapa harga vas bunga.

Bagas dan Dipta sontak menengok ke arah Javier yang sedang menatap keduanya dengan tatapan amarah dan nafas yang menggebu tidak bisa ia kontrol.

Setelah menyalakan lampu, Javier berjalan menuju dua empu yang sudah berdiri dengan sempurna. Javier menampar pipi Dipta agar Dipta sadar, merahnya pipi itu bekas tangan Javier. Dipta memegangi pipinya meringis pelan. Javier kembali menatap nyalang kedua manusia yang masih setia berdiri itu.

“Lo apa-apaan sih, Jav!” Bentak Bagas, suaranya meninggi membela Dipta yang masih meringis karena perih pipinya menjalar hingga membuat kepalanya sakit.

Javier menunjuk nunjuk Bagas, “Lo diem. Lo gak punya hak untuk bicara. Jangan sampai mulut lo gue tampar juga.” Lalu atensinya beralih kepada Dipta, masih menatap dengan tatapan marah, nafasnya masih menggebu seperti ia adalah peran penting dalam rumah tangga Dipta.

“Sadar Dipta! Sadar! Jangan goblok! Lo gak pantes jadi—” Javier hampir saja membongkar rahasia bahwa Dipta sudah menikah. Dipta tertawa walau air matanya menetes. Pipi dan matanya memerah.

“Lo siapa ikut campur masalah gue hahahahaha lo yang goblok bukan gue dasar tolol!”

“Dipta mabok, Jav.”

Amarahnya kembali tersulut, rasanya Javier ingin sekali mengobrak-abrik apart ini dan menjadi gila.

Ditariknya tubuh Dipta dengan kasar menuju mobil Javier, mengajaknya pergi menjauh dari wajah Bagas.

“Jav! Javier! Lo mau ke mana? Dip! Bangsat. Lo mau ajak Dipta ke mana?”

“Ajak Dipta pergi, kalau bisa gue buat Dipta enggak lagi lihat wajah sialan lo itu.” Jawab Javier lalu ia kembali melanjutkan jalannya menuju parkiran mobilnya.

Diperjalanan menuju mobilnya, Dipta selalu mengoceh hal-hal yang tidak penting, ngatain Rian berulang kali.

“Ian tolol hahaha dia gak akan bisa buat gue jatuh cinta ogah gue jatuh cinta sama dia hahahaha.”

“Eh tapi kenapa setiap liat mukanya gue selalu berdegup.” Lanjut Dipta dengan alis yang mengerut.

Tangannya memukul angin seperti tidak membenarkan ucapannya. “Ah tetep aja gue muak sama Ian. Manusia aneh.”

Javier sabar mendengarkan ocehan demi ocehan, hinaan demi hinaan yang keluar dari mulut Dipta. Hingga keduanya sudah berada di dalam mobil. Kepalang pusing, Dipta tidak sadarkan diri.

“Lo manusia yang gak punya hati, ya, Dip?” Javier menghembuskan napasnya kasar. Tak lama ia mengemudikan mobilnya menuju apartnya.

Written by brownieszt.

Ian turun dari mobilnya dengan bawaannya yang sangat banyak. Memasuki rumah megahnya yang hanya diisi beberapa manusia didalam.

Ian menghampiri Dipa yang sedang duduk di kursi meja makan dan memainkan ponselnya. “Dip?” Ian perhatikan lauk pauk yang mengisi hampir seluruh meja makannya, sungguh, itu masakan yang sangat banyak.

Dipa mendongak menatap langsung wajah Ian yang bertanya-tanya. “Duduk. Makan.” Pinta Dipa pada Ian, daripada Ian terus berdiri sambil memperhatikan lauk pauk yang ada di atas meja, mending ia ambil posisi dan menghabiskan semua lauk pauk diatas meja itu.

“Masakan kesukaan lo. Soto Mie Bogor, maaf kalau rasanya belum memuaskan karena gue masih belajar. Tadinya ini semua buat apresiasi lo karena yang baru aja presentasi. Tapi ternyata presentasinya gak jadi, tapi gak papa, silahkan dinikmati, Bapak Gabrian Arjuna Putra.” Dipa mendorong mangkuk yang berisi penuh soto mie tak lupa senyuman tipis ia berikan pada Ian, walau tipis dan sekilas, jangan salah, senyuman itu sangat berharga dan tulus, lho.

Ian tersenyum lebar melihat Dipa yang mempersilahkan dirinya untuk makan semua masakannya. Tangannya terulur untuk mengusak lembut rambut Dipa. “Makasiii ya Dipakuuuu.” Senyuman Ian tidak akan pernah luntur jika itu semua menyangkut Dipa.

Ian menyuapkan sesuap kuah soto itu kedalam mulutnya. Dipa menatap harap wajah Ian yang sedang merasakan kaldu soto yang dibuatnya tadi. “Gimana?” Tanya Dipa penuh harap. Alis Ian mengerut. “Gak enak, ya? Jangan di makan kalau gak enak. Kita beli aja diluar, yuk?” Dipa hendak berdiri dari duduknya tetapi tangannya ditahan oleh tangan Ian. Ian tersenyum lebar.

“Enaaaaak bangeet Dipaaa. Gue gak bohong. Ini soto mie terenak yang pernah gue makan. Rasanya persis kayak buatan Mamah. Sekali lagi, makasih, ya, Dip?” Terimakasihnya bukan hanya karena soto mie dan makanan banyak yang ada di atas meja tetapi Ian siratkan untuk Dipa yang masih setia duduk di kursinya menunggu ia makan, itu adalah hal yang sangat jarang dan berharga. Karena Dipa selalu meninggalkan Ian sendiri, makan sendiri dan membersihkan sisa makanannya sendiri. Tapi kali ini, ah tidak cukup jika hanya ucapan terimakasih. Ian mengusap lembut tangan Dipa yang masih dalam genggamannya. Tatapannya bertemu dengan tatapan Dipa. Keduanya saling menatap, seperti sedang menelisik apa ada ketulusan pada mata yang saling menatap itu?

“Makasih juga udah selalu menghargai gue, Ian.”

“Cium dong sebagai terimakasihnya.”

“Lo mau gue tusuk pakai garpu?”

Ian bergidik ngeri setelah mendengar ancaman Dipa. Lalu tak lama kekehan terdengar pada ruang makan itu.

Written by brownieszt