Jealous.

Setelah beberapa kali aku menghubungi Hilmy melalui WhatsApp namun tak kunjung dibalas dan dibaca, aku menyadarinya bahwa nomorku sudah diblokir. Dia cemburu. Aku yakin dengan itu. Namun yang menjadi pertanyaanku, apakah dia juga mencintaiku sama halnya denganku?

Tak butuh waktu lama, aku keluar dari kamar hotelku lalu menuju kamar hotel Hilmy yang jaraknya tak jauh dari kamarku, hanya berjarak dua kamar.

Aku mengetuk pintu kamarnya tiga kali namun tak dapat jawaban dari dalam. Aku mengetuk pintu kamar lagi, tak dapat jawaban. Aku tak ingin menyerah begitu saja.

“My, please gue bisa jelasin.” ucapku dengan suara tak terlalu kencang juga tak terlalu pelan namun cukup didengar oleh empu yang berada di dalam.

Sebenarnya aku tak perlu seperti ini, aku tak perlu menjelaskan. Kami tak mempunyai hubungan apapun— selain rekan kerja. Namun satu hal yang mungkin Hilmy tak tau, aku mencintainya. Sudah jelas. Aku menunjukannya melalui perlakuanku selama ini kepadanya. Aku mencintainya sebelum kami terlibat hubungan tak jelas seperti ini. Aku mencintainya jauh sebelum dia mengenalku.

Pintu terbuka. Aku melihat dengan jelas wajah yang sangat aku dambakan, yang selalu membuat aku berdoa agar aku bisa melihat wajahnya setiap hari. Aku tersenyum menatapnya— namun dia hanya menatapku tak peduli lalu meninggalkanku masuk begitu saja.

“Itu Kakak gue.” ucapku saat memasuki kamar hotel Hilmy yang terlihat sedikit berantakan.

“My, you jealous. Jangan denial lagi.”

“Iya! Gue cemburu! Gue suka sama lo.” Ucapan tingginya membuatku termangu tak bergerak. Yang tadinya banyak kalimat yang ingin keluar dari mulutku namun tiba-tiba saja hilang.

“My...”

Aku menghampiri tubuh yang sedikit berisi namun dengan tinggi yang ideal itu lalu memeluknya dengan sangat erat.

I love you too.

“Jangan bohongin gue, Kai.”

“Gue gak bohong, My. Gue berani sumpah. Gue suka banget sama lo.”

“Jangan kemana-mana lagi ya, Kai, sama gue aja.”

I promise.