Soto mie.
Ian turun dari mobilnya dengan bawaannya yang sangat banyak. Memasuki rumah megahnya yang hanya diisi beberapa manusia didalam.
Ian menghampiri Dipa yang sedang duduk di kursi meja makan dan memainkan ponselnya. “Dip?” Ian perhatikan lauk pauk yang mengisi hampir seluruh meja makannya, sungguh, itu masakan yang sangat banyak.
Dipa mendongak menatap langsung wajah Ian yang bertanya-tanya. “Duduk. Makan.” Pinta Dipa pada Ian, daripada Ian terus berdiri sambil memperhatikan lauk pauk yang ada di atas meja, mending ia ambil posisi dan menghabiskan semua lauk pauk diatas meja itu.
“Masakan kesukaan lo. Soto Mie Bogor, maaf kalau rasanya belum memuaskan karena gue masih belajar. Tadinya ini semua buat apresiasi lo karena yang baru aja presentasi. Tapi ternyata presentasinya gak jadi, tapi gak papa, silahkan dinikmati, Bapak Gabrian Arjuna Putra.” Dipa mendorong mangkuk yang berisi penuh soto mie tak lupa senyuman tipis ia berikan pada Ian, walau tipis dan sekilas, jangan salah, senyuman itu sangat berharga dan tulus, lho.
Ian tersenyum lebar melihat Dipa yang mempersilahkan dirinya untuk makan semua masakannya. Tangannya terulur untuk mengusak lembut rambut Dipa. “Makasiii ya Dipakuuuu.” Senyuman Ian tidak akan pernah luntur jika itu semua menyangkut Dipa.
Ian menyuapkan sesuap kuah soto itu kedalam mulutnya. Dipa menatap harap wajah Ian yang sedang merasakan kaldu soto yang dibuatnya tadi. “Gimana?” Tanya Dipa penuh harap. Alis Ian mengerut. “Gak enak, ya? Jangan di makan kalau gak enak. Kita beli aja diluar, yuk?” Dipa hendak berdiri dari duduknya tetapi tangannya ditahan oleh tangan Ian. Ian tersenyum lebar.
“Enaaaaak bangeet Dipaaa. Gue gak bohong. Ini soto mie terenak yang pernah gue makan. Rasanya persis kayak buatan Mamah. Sekali lagi, makasih, ya, Dip?” Terimakasihnya bukan hanya karena soto mie dan makanan banyak yang ada di atas meja tetapi Ian siratkan untuk Dipa yang masih setia duduk di kursinya menunggu ia makan, itu adalah hal yang sangat jarang dan berharga. Karena Dipa selalu meninggalkan Ian sendiri, makan sendiri dan membersihkan sisa makanannya sendiri. Tapi kali ini, ah tidak cukup jika hanya ucapan terimakasih. Ian mengusap lembut tangan Dipa yang masih dalam genggamannya. Tatapannya bertemu dengan tatapan Dipa. Keduanya saling menatap, seperti sedang menelisik apa ada ketulusan pada mata yang saling menatap itu?
“Makasih juga udah selalu menghargai gue, Ian.”
“Cium dong sebagai terimakasihnya.”
“Lo mau gue tusuk pakai garpu?”
Ian bergidik ngeri setelah mendengar ancaman Dipa. Lalu tak lama kekehan terdengar pada ruang makan itu.
Written by brownieszt