Capek.
Harenza Pov
“Kalau kamu pulang masih sibuk sama kerjaan kamu mending gak usah pulang, Mel.” Ucap gue dengan nada kesal. Bagaimana gak kesal dan marah sama Meldrick, dia baru pulang jam 11 malem tanpa ngabarin gue dulu kalau mau lembur trus dirumah dia masih ngerjain kerjaannya, orang gila.
Dia gak jawab gue. Diem. Dia diem doang masih melanjutkan ketikan di laptop, entah ngetik apa, entah ngerjain apa. Gue sama sekali gak peduli dengan itu.
Dengan perasaan kesal yang membuncah, bantal yang bertengger diatas pangkuan gue, gue lempar kearah Meldrick yang masih asik dengan kerjaanya. Bantal itu mengenai kepala Meldrick lalu mengenai laptopnya. Jujur gue agak ngeri ngeliat laptopnya tiba tiba aja mati akibat bantal yang gue lempar. Gue gak sengaja. Asli.
Meldrick membalikkan badannya. Badan gue sedikit gemetar tapi gak gue tunjukin. Raut wajahnya entahlah gue gak bisa gambarin dengan jelas, tapi gue tau kalau dia itu marah. Marah besar sama gue.
“Apa? Mau apa?” Ucapnya dengan nada dingin bukan dengan nada biasanya yang sering dia ucapkan pada gue. Gue gigit bibir dalam gue. Takut. Tapi gue masih berhak buat marah 'kan? Meldrick yang salah. Bukan gue. Siapa suruh dia bawa kerjaan kerumah.
“Aku harus berapa kali bilang kalau kerjaan itu kerjain di kantor setelah pulang taruh kerjaan itu. Gak bisa apa kamu taruh kerjaan itu? Gak bisa? Lebih penting dari aku apa bagaimana?” Gue gatau ngomong apa. Intinya gue marah. Mungkin muka gue merah kayak tomat akibat kemarahan gue, sampai gue gak sadar nada bicara gue meninggi dihadapan suami gue. Gak peduli, intinya gue marah.
“Gak bisa apa kamu ngertiin aku? Harenza, ini penting. Kerjaan aku penting.” Jujur pada saat Meldrick mengeluarkan kalimat itu dari mulutnya membuat dada gue sesak banget. Sesak banget sampai kepala gue pening akibat amarah yang gue tahan.
“What about me? What about me, Meldrick?! Jadi aku gak penting???” Gue teriak. Teriak kencang berharap dia ngerti perasaan gue. Berharap dia bisa ngertiin gue juga.
“Kamu penting, Harenza. Tapi untuk hari ini tolong ngertiin aku dulu. Banyak banget kerjaan hari ini. Makanya aku lembur dan bawa kerjaan ini ke rumah, kalaupun engga penting pasti aku gak akan bawa lembur dan bawa kerjaan ini. Maaf ya.” Ucapnya dengan lembut seperti menenangkan gue dari amarah. Dia itu kayak air dan gue api nya. Tapi gue masih gak terima. Gue masih ber api-api. Gue masih natap dia dengan tatapan marah.
Gue gak jawab. Gue diem. Dengan posisi tidur gue tarik selimut hingga kepala gue tertutup selimut. Gue nangis dibalik selimut. Gak ada yang tau bahkan Meldrick yang jaraknya gak jauh dari gue sepertinya gak tau kalau gue lagi nangis.
Gue hari ini sensitif banget. Gue gak ngerti apa yang terjadi sama gue. Pokoknya hari ini dimata gue semuanya salah. Bahkan tadi gue hampir khilaf marahin anak sulung gue karena hal sepele. Mungkin efek capek karena ngerjain rumah sendiri karena yang bantu-bantu dirumah lagi cuti, belum lagi ngurusin anak yang belum bisa diajak kerja sama.
Gue kira dengan nanti Meldrick pulang rasa capek gue menghilang tapi ternyata engga, dia malah buat gue marah dan bahkan nangis kayak gini.
Badan gue gemetar hebat. Dada gue teramat sesak. Gue gak bisa lampiasin amarah gue yang masih menggebu-gebu kalaupun dilampiasin itupun juga dengan nangis kayak gini. Iya, gue nangis karena amarah gue yang tertahan.
Ada tangan yang berusaha ngelus bahu gemetar gue. Itu tangan Meldrick. Gue salah, dia sepertinya tau kalau gue lagi nangis. Dia persis disebelah gue yang tadinya ada didepan meja kerjanya sekarang ada disebelah gue. Gue masih didalam selimut. Masih dengan terisak.
Selimut gue dibuka sama Meldrick. Gue ditarik untuk masuk kedalam pelukannya. Dia peluk gue. Erat banget. Dia diem doang, gak ngomong apa-apa tapi jari jemarinya ngelus dengan lembut punggung gue. Terbukti, kan, kalau dia adalah air dan gue adalah api nya. Perlahan amarah dan sesak di dada gue menghilang karena dipeluk dengan erat seperti ini. Gue gak berhenti nangis. Gue gak peduli bahunya basah karena air mata dan ingus gue.
“I'm sorry, Love. I'm sorry. I love you so much.” Bisiknya dengan sangat lembut ditelinga gue sambil diciumin pipi gue dan leher gue.
Tangisan gue berhenti. Pipi gue ditangkup. Kami saling menatap. Lagi dan lagi dia ngucapin maaf.
“Maaf. Maafin aku, jangan nangis lagi, ya. Maafin aku.” Gue gigit bibir gue kencang-kencang karena dada gue sesak banget ngeliat dia minta maaf sambil menahan air matanya yang ingin tumpah diujung matanya.
“I'm sorry too. Aku lagi sensitif banget hari ini. Kita sama-sama capek, Mel.” Gue ngucapin maaf juga sambil nunduk karena gak kuat liat Meldrick yang lagi nahan tangisannya karena gue. Gue gatau siapa yang harus minta maaf. Jadi gue ikut minta maaf juga.
Pipi gue lagi dan lagi ditangkup. Air mata gue yang ngalir gak berhenti itu diusap lembut sama jari jemarinya. Pada saat gue ngeliat wajahnya. Dia nangis. Pipinya basah. Hidungnya memerah. Gue juga usap air matanya lalu tarik dia kedalam pelukan. Gue peluk dia kayak dia peluk gue pada saat gue terisak tadi. Gue peluk dengan erat-erat.
“Aku capek banget hari ini, Za. Maaf tadi karena kalimat aku buat kamu nangis. Jangan nangis lagi karena aku.” Ucapnya dengan gemetar.
“Aku juga capek, Mel. Maaf juga tadi aku gak jelas banget marah marah gitu.”
Malam itu diakhiri dengan pelukan kami yang tidak lepas hingga fajar. Hingga matahari menyapa dunia.
– fin.
Written by brownieszt.