aku kehilangannya.
Aku terbangun dari tidurku setelah tertidur sejak pulang dari berjalan santai sekitar taman di Toronto. Aku belum tidur seharian karena memikirkan bagaimana caranya membuat suamiku bahagia, bagaimana caranya menembus dosaku kepadanya.
Jam berapa sekarang, aku meraih handphoneku yang berada persis di sebelahku. Banyak sekali notifikasi yang masuk. Salah satunya ada notif yang membuat tubuhku menegang sempurna, dadaku berdegup kencang, tanganku bergetar hebat.
“Dip, cek berita. Ada pesawat jatuh, itu bukan rian, kan?” Notifikasi yang membuat diriku bergetar hebat.
Aku membuka aplikasi burung biru, tak butuh waktu lama aku membuka trending. Pesawat jatuh tujuan Toronto. Aku klik. Aku bergetar hebat. Aku takut. Takut ada Ian di sana. Banyak korban jiwa.
Yang tadi aku merasa lelah dan butuh istirahat sejenak kini aku tidak lagi merasakan itu, kini rasa lelahku berganti dengan rasa takut. Tubuhku bergetar, walau sejak tadi aku sudah berusaha membuat diriku tidak berpikir yang tidak-tidak. Namun tak bisa, aku tetap takut.
Aku bergegas mengambil tas kecilku yang berisi barang penting, meraih kunci mobil dan meninggalkan kamar yang sudah terhias dengan sangat romantis hingga aku rela tidur di sofa agar tak merusak bunga yang berada di atas ranjang. Aku rela tubuhku ngilu karena tidur di sofa hingga nanti suamiku pulang dan bisa menikmati ranjang yang sudah terhias rapih.
Aku menyetir mobilku dengan ugal-ugalan menuju bandara untuk mengetahui kabar suamiku. Aku berharap suamiku sudah berada di bandara Toronto dengan senyumannya yang sangat manis mampu membuatku pingsan ditempat. Aku berharap ini hanya mimpi. Aku berharap ini semua tak terjadi.
Tanganku berkeringat, aku sangat takut. Aku menangis. Menangis sendiri di mobil. Merapalkan banyak doa agar suamiku selamat sampai bertemu denganku. Aku masih ingin membahagiakan suamiku, aku masih ingin menembus dosa yang pernah ku buat terhadap suamiku.
“Tolong jangan hukum aku dengan kejadian ini. Ini berat sekali.”
“Ian, jangan kemana-mana, sama aku aja. Jangan tinggalin aku sendiri, aku lebih hancur tanpa kamu.”
Ucapku dengan suara bergetar. Napas yang tak bisa ku atur. Air mata yang tak dapat lagi terbendung.
Mengapa jarak bandara menjadi sangat jauh.
Sesampainya di bandara aku berlari entah kemana. Sampai bertemu perkumpulan orang sedang melihat televisi yang berisi korban jiwa dengan keterangan nama.
Dengan dada yang berdegup kencang. Dengan harapan bahwa nama Ian tak ada di sana. Aku maju, menerobos banyak orang, banyak yang protes kepadaku karena aku menerobos begitu saja. Banyak yang marah padaku. Aku egois saat ini. Aku tau bahwa yang sedang berduka bukan hanya aku saja mungkin sebagian orang di sini berduka. Aku melihatnya sendiri, ada yang meraung menangis, ada yang berteriak tidak percaya bahwa orang yang disayangnya menjadi korban, bahkan ada yang pingsan ditempat. Aku tidak tau apa yang terjadi padaku jikalau nama suamiku ada di sana. Mungkin aku sama dengan wanita itu yang sedang meraung tak percaya.
Aku meneliti satu persatu nama di sana yang menjadi korban. Aku mencari nama Ian di korban hilang. Tak ada. Sedikit lega namun hanya sebentar. Aku mencari nama Ian di korban jiwa. Nama Gabrian Arjuna Putra tertera di sana. Aku lemas sangat lemas hingga tak kuat untuk berdiri. Aku terdiam sejenak karena tak tau harus bagaimana. Aku terluka, sangat.
Hingga akhirnya aku sudah tak kuat lagi membendung rasa luka dan sakit. Aku meraung sendiri merasa tak percaya. Menangis berteriak hingga banyak orang yang menghampiriku memberiku banyak perhatian. Aku memanggil nama suamiku berkali-kali. Aku tak percaya dengan ini. Aku menjambak rambutku frustasi agar aku terbangun dari mimpi burukku. Jika ini adalah mimpi tolong bangunkan aku sekarang juga. Aku tak kuat ini sangat sakit.
“GABRIAN, JANGAN TINGGALIN AKU. JANGAN BIARIN AKU SENDIRI.” Teriakku. Tak peduli manusia di sana menatapku dengan iba.
Aku kehilangan. Kehilangan duniaku. Aku butuh Ian, selalu butuh Ian. Bagaimana hidupku selanjutnya tanpa Ian. Tak akan pernah bahagia. Aku hanya bahagia bersama Ian.
Aku menyesal berada di sini. Menyesal menyuruh Ian menghampiriku. Aku sangat menyesal hingga terus-terusan menyalahkan diriku sendiri.
Ian, aku tau dosaku banyak sekali kepadamu. Aku tau aku belum bisa menjadi suami yang dapat dibanggakan. Aku tau aku belum bisa membahagiakan dirimu. Aku tau aku belum sempurna untuk menjadi pendamping hidupmu. Tapi tolong, Ian... Jangan hukum aku dengan kepergianmu. Aku mau memperbaikinya. Aku mau menembus seluruh dosa yang aku pernah perbuat kepadamu. Ian, maafkan aku.
Setelah meraung aku kehilangan sadar diriku. Setelah itu semuanya aku tak ingat. Kepalaku sangat pening. Aku pingsan. Tak sadarkan diri. Tak mau sadar dari kenyataan. Terlalu sakit jika kembali dalam kenyataan ini. Aku tak peduli banyak orang yang kesulitan menggotongku untuk menuju rumah sakit.
Setelah kejadian itu yang berada dalam pikiranku adalah menyusulnya. Hidup bahagia bersama Ian tanpa ada lagi perpisahan menyakitkan seperti ini. Lagi dan lagi aku selalu membutuhkan Gabrian Arjuna Putra dalam hidupku. Tanpanya aku bukan apa-apa.